Gila (Krankzinnigen)

Oleh Deddy Arsya
Pernah suatu waktu, di zaman penjajahan Belanda, orang gila menjadi begitu banyak di Sumatera Barat. Saya catatkan untuk Anda.
Pada tahun 1939, Dr. Thuenissen, Kepala Departemen Kesehatan Masyarakat (Hoofd van den Dienst der Volksgezondheid), melakukan kunjungan ke Padang. Dari kunjungan itu, dia memberikan laporan yang mencemaskan. Di Sumatera Barat, catatnya, telah berkembang-luas “penyakit gila” (krankzinnigen). Rumah sakit jiwa di Padang tidak mampu menampung jumlah pasien yang membludak. Tidak pernah terjadi di periode sebelum ini orang gila menjadi sebegitu banyak. Tidak diketahui penyebabnya secara pasti. Pemerintah, melihat kondisi itu, lalu berencana untuk membangun rumah sakit jiwa lain di Fort de Kock, setidak-tidaknya untuk memindahkan 30 sampai 40 pasien yang tidak lagi tertampung di rumah sakit jiwa di Padang.
Besar dugaan, banyaknya orang gila di Sumatera Barat ini karena keadaan kehidupan ekonomi masyarakat yang anjlok. Pada tahun 1930, krisis ekonomi melanda Hindia Belanda, termasuk yang terkena dampak paling parah adalah Sumatera Barat. Masa malaise, begitu periode itu sering disebut, disebabkan karena kemerosotan harga bahan mentah di pasaran dunia. Dengan telak, kemorosotan itu turut memukul-jatuh ekonomi Hindia Belanda yang memang dihidupi oleh produksi bahan mentah. Kadang, masa malaise itu diplesetkan orang sebagai ‘masa meleset’. Di beberapa daerah penting seperti di Sumatera Timur, yang tersohor karena perkebunannya, sebagaimana dicatatkan William Joseph O’Malley dalam tulisannya “Indonesia Zaman Malaise: Sumatera Timur dan Yogyakarta tahun 1930an”, penderitaan orang-orang pribumi tidak tertahankan lagi. Di Jogjakarta, yang tidak sepenuhnya bergantung pada kerkebunan, malaise telah menghancurkan kejayaan usaha kerajinan batik dan menyempitkan perkebunan tebu. Di basis-basis karet seperti di Jambi, kejatuhan harga karet berimbas pada menurunnya gairah produksi, kebun-kebun karet ditinggalkan tanpa terawat.
Di Sumatera Barat, yang mengandalkan komoditi seperti kopi, gambir, teh, dan tembakau, akibat yang ditimbulkan depresi ekonomi ini juga tampak siginifikan. Harga komoditi itu anjlok, sehingga pendapatan masyarakat petani juga anjlok. Bukan saja melemahkan gairah produksi perkebunan dan pertanian di kawasan-kawasan pedesaan, tetapi juga melemahkan gairah dagang di kota-kotanya. Di Padang, misalnya, pengangguran merebak hebat dan orang miskin bertambah banyak. Kesulitan hidup ini dianggap menjadi pemicu banyaknya masyarakat Sumatera Barat yang terkena depresi berat hingga menjadi gila.



Comments
Post a Comment