Fasisme, Sastra Zaman Jepang, dan Upaya ‘Membunuh’ Chairil
(Respon untuk Romi Zarman)
Oleh Deddy Arsya
‘Pembunuhan’ terhadap Chairil Anwar bukan hal yang baru. Sejak mati muda tahun 1949, Chairil telah ‘dibunuh’ berkali-kali. Pada zaman Orde Lama, Sitor Situmorang pernah menuduh Chairil kontrarevolusioner karena sajak-sajak dan gaya hidupnya yang kebarat-baratan. DN Aidit lebih keras lagi. Bagi Ketua PKI ini, Chairil adalah ‘ofensif revolusioner’, borjuis yang terasing dari bumi tanah air & tidak berakar pada budaya nasional. Lalu beruntun, tokoh-tokoh Lekra lewat Bintang Timur-nya mencerca dan menuntut Chairil dengan berbagai tuduhan plagiat sekalipun ‘binatang jalang’ ini telah membusuk dalam kuburnya di Karet sana.
Tulisan saya ini adalah respon atas tulisan yang terbit seminggu yang lalu di halaman ini, “Chairil, Propaganda Jepang dan Indikasi Fasisme dalam Sastra Indonesia”, yang ditulis Romi Zarman. Tulisan yang juga disampaikan penulisnya dalam orasi Peringatan Hari Chairil Anwar di FIB Unand pada 28 April 2014 bertajuk ‘Melupakan Chairil Anwar’.
Romi Zaman menulis dalam tulisannya itu bahwa dia mencium aroma propaganda Jepang dalam beberapa sajak Chairil yang ditulis tahun 1943. Romi mengatakan bahwa Chairil adalah pengagum dan kolaborator Jepang. Chairil ikut menyebarkan propaganda yang diserukan Jepang di Indonesia lewat sajak-sajaknya. Dan pada akhir tulisannya, dia bersimpulan: fasistik adalah corak Chairil. Simpulan itu didapat Romi lewat menganalisa terutama dua sajak Chairil, “Diponegoro” dan “Semangat”—keduanya dimuat dalam suratkabar Pembangoen. Baris awal sajak “Diponegoro” yang dikutip Romi (di masa pembangoenan ini/ toean hidoep kembali), bersama baris-baris lain dalam sajak yang sama (seperti kepercayaan tanda menyerbu, barisan tak bergenderang-berpalu, atau sekali berarti sudah itu mati yang terkenal itu), dijadikan landasan utama untuk membuat simpulan tersebut. Bagi Romi, baris-baris sajak tersebut adalah propaganda ampuh dalam membangkitkan cita-cita fasistik Asia Timur Raya yang diusung Jepang. Kita hanya mengira-ngira apa yang dimaksud Romi dengan mengatakan Charil bercorak fasistik. Apa yang dimaksud fasistik oleh Romi; fasistik yang bagaimana dalam kaitannya dengan sajak Chairil? Apakah sajak yang menggambarkan perlawanan terhadap kolonialisme dapat dikatakan bercorak fasistik—karena kebetulan perlawanan itu dilakukan terhadap Eropa?
Sejarawan bukan fuqaha. Sejarawan tidak menetapkan suatu hukum. Tugas utamanya adalah ‘memahami’ suatu peristiwa sejarah maupun tokoh sejarah. Hittler telah membantai beribu-ribu Yahudi, tetapi bukan tugas sejarawan memberi label ‘setan fasis’ padanya. Tugas sejarawan adalah menjawab, misalnya: mengapa ada orang semacam Hittler, zaman seperti apa yang telah melahirkan orang serupa Hittler. Oleh sebab itu, sejarawan hendaknya tak melupakan semangat zaman yang dikajinya, sebab dari situ kajiannya beranjak, berlangsung, dan berakhir. Leopard van Ranke, bapak sejarawan Eropa bilang, tulislah sejarah sebagaimana adanya. Artinya, sesuai zamannya. Artinya lagi, jangan memandang suatu zaman dengan kaca mata zaman yang lain. Ibn Khaldun, bapak sejarawan Islam, jauh-jauh abad telah mengingatkan: ‘selami masyarakat sampai ke jiwanya’. Maka untuk mengerti posisi Chairil pada periode Jepang, tidak ada salahnya kita gali jiwa zaman Jepang itu sendiri.
Pada masa penjajahan Jepang, pada umumnya karya sastra disiarkan sebagai media propaganda. Kesusastraan tersubordinasi ke dalam politik melalui kantor pusat kebudayaan yang dibentuk Jepang. Seniman ditugaskan mengobarkan semangat perang Asia Timur Raya, dan sastra yang berbau kedaerahan dilarang. Karya-karya sastra yang mau tersiar harus melewati seleksi dari badan sensor yang ketat. Segala upaya dilakukan untuk mengekang kreasi-kreasi seniman yang tidak sesuai dengan kehendak Jepang. Seluruh suratkabar dilarang. Suratkabar yang ada hanya suratkabar propaganda, lain dari itu diberangus. Di tengah zaman serupa itu, hanya ada dua pilihan: ikut Jepang atau menyingkir.
Intelektual-intelektual Indonesia terpecah menanggapi keadaan baru tersebut. Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya, memilih menyingkir. Dia menyendiri ke pinggiran Jakarta, tidak menyiarkan sajak atau tulisan apapun sepanjang periode Jepang, sebab memang seluruh media hanya akan memuat karya yang segaris dengan tujuan propaganda belaka, di mana si pengarang harus ‘menyesuaikan diri’ pada kaidah-kaidah yang ditetapkan penguasa. Pujangga Baru yang pernah dibesarkan STA sendiri telah dilarang terbit. Sepanjang periode Jepang STA hanya menghabiskan waktunya membaca, melahap habis buku-buku filsafat. Ini jalan yang juga dipilih di antaranya oleh Sjahrir dan Tan Malaka, sekalipun tidak seperti Takdir yang sibuk dengan bacaan filsafatnya. Sjahrir maupun Tan Malaka tetap melakukan agitasi bawah tanah, menyebar pamflet perlawanan, dst. Jalan ini, dalam buku-buku sejarah disebut jalan non-kooperatif. Tidak mau bekerja sama dengan Jepang. Pada beberapa sisi, jalan ini juga bisa dalam bentuk melawan dengan nyata, ini misalnya terjadi pada beberapa ulama yang mengerahkan pengikutnya berperang menghadapi Kenpeitai di Aceh dan Jawa Barat, atau yang dilakukan pemimpin Peta di Jawa membawa banyak rekannya membelot melawan ‘tuan mentornya’.
Tetapi banyak juga yang memilih jalan lain: jalan kooperatif. Jalan ini misalnya dipilih Soekarno dan Hatta. Jalan inilah juga yang dipilih banyak pengarang seangkatan Chairil. Tetapi jalan kooperatif ini juga terpecah: manut sepenuhnya pada aturan-aturan yang dilekatkan Jepang, atau diam-diam membangkang/melakukan perlawanan. Chairil tampaknya memilih jalan kooperatif yang terakhir ini. Bisa jadi Chairil memang simpatik kepada Jepang karena berbagai alasan. Apalagi, sajak Charil memang sajak seorang pemuda 20 tahun yang bergelora dan percaya diri. Ini akan terlihat segaris dengan spirit Jepang ketika itu yang memang sedang percaya diri dan tengah bersemangat sekali hendak menguasai seluruh Asia pascamenumbangkan Rusia & China—seperti hendak ‘hidup seribu tahun lagi’ dalam bahasa Chairil. Di sinilah apa yang dikatakan HB. Jassin, yang juga dikutip Romi, pas dilekatkan: cita-cita fasistik Asia Raya sejalan dengan spirit Charil. Tetapi nyaris sulit untuk mengatakan bahwa garis ideologi Jepang sehaluan dengan paham yang dipegang Chairil. Jepang masa itu adalah militeristik kaku yang fasistik, sementara Chairil lahir dari rahim egaliterian yang ‘merdeka sejak dari dalam jiwa’. Dia pengagum Barat malah. Baca misalnya cerita Jassin lagi, ketika Chairil datang ke redaksi Pandji Pustaka menawarkan sajaknya yang berjudul ‘Susunan Dunia Baru'. Kata pemimpin majalah itu, sajak Chairil tersebut tidak mungkin dimuat. “Sajak-sajak individualis lebih baik dimasukkan saja dalam simpanan prive (privacy) sang pengarang. Kiasan-kiasannya terlalu mem-Barat."
Chairil memang pernah menjadi penyiar di radio Jepang di Jakarta. Chairil juga ‘bergabung’ dengan Keimin Bunka Sidosho, lembaga yang dimaksudkan oleh pemerintah Jepang untuk menghimpun tenaga sastrawan dan seniman agar mereka dapat dimanfaatkan bagi kepentingan perang Asia Timur Raya bersama banyak intelektual Indonesia lainnya. Namun, sesungguhnya Chairil tidak pernah betul-betul bergabung, dia hanya sering datang, sebagaimana pengakuan Jassin lagi: Chairil sering terlihat di kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso).” Namun, bukan pula berarti terlibat dalam lembaga Jepang, menjadi penyiar di radio propaganda, atau menulis pada koran propaganda beberapa sajak yang terdapat kalimat-kalimat yang mengisyaratkan semangat bergelora seperti gelora Jepang pada zaman itu lantas ‘menjadi Jepang’, lantas dapat dicap bercorak fasistik.
Chairil bukan fasistik, dia tidak ‘menjadi Jepang’ karena itu. Chairil barangkali lebih tepat disebut ‘galir’—‘pintar berkelit’, ‘anggukkan kata orang, lalukan punya kita’ kata idiom Minang. Ada sajak Chairil yang harusnya dipertimbangkan untuk ini. “Siap Sedia” adalah salah satu contoh puisi yang dapat membantu menjelaskan posisi Chairil dalam konteks zamannya sebagai ‘seorang yang galir’ itu. Ditulis tahun 1943, bait terakhir sajak ini berbunyi: Kawan, kawan,/Dan kita bangkit dengan kesadaran,/Mencucuk menerang hingga belulang./Kawan, kawan,/Kita mengayun pedang ke Dunia Terang! Dalam buku Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang, Jassin menjelaskan bahwa sajak ini sebenarnya sudah lolos dari sensor, tapi kemudian digugat Gunseireibu—instansi yang paling tinggi dan lebih tinggi dari Gunseikanbu. Gugatan yang dilancarkan Gunsereibu tidak lain karena Jepang mencium aroma pemberontakan dalam puisi Chairil tersebut, terutama pada baris terakhir Kita mengayun pedang ke Dunia Terang!—kata ‘Dunia Terang’ ditafsirkan sebagai Jepang yang memang dikenal dengan julukan Negeri Matahari Terbit.
Kalau kita baca sajak ‘Diponegoro’ menggunakan kacamata seperti ini, tidakkah juga sajak tersebut seperti pisau bermata dua? Kata-kata ‘serbu, serang, terjang’ misalnya, tidak saja ditujukan dalam konteks yang dibicarakan sajak itu (Diponegoro dalam menghadapi kolonialisme Belanda), tetapi semangat yang sama juga ingin dihadirkan Chairil kembali untuk menghadapi kolonialisme Jepang ketika sajak itu ditulis. Tidakkah ‘toean bangkit kembali’ juga bisaberarti Diponegoro bangkit kembali melawan penjajahan baru—kali ini kolonialisme Jepang yang tidak kalah menindas?
Ada lagi kisah tentang ‘kegaliran’ Chairil. Ketika Chairil menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, dalam sebuah pembicaraan radio Chairil pernah memuji heroisme seorang Jenderal Jepang, dan itu dilakukannyajustru pada saat armada Jepang sedang babak-belur di laut Pasifik. Ini jelas cemoohan pada Jepang dengan cara ungkap seorang yang lihai berkelit.
Di samping itu, untuk menilai Chairil sebagai bercorak fasistik atau tidak, harus juga dipertimbangkan fakta bahwa langsung saja setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, Chairil menulis tentang adanya kehidupan budaya paksa di bawah kekuasaan Kenpeitai. Chairil mengecam sesama generasinya yang hanya manut pada batasan-batasan yang dikenakan Jepang tanpa berani berkelit, sepenuhnya menjadi ‘kacung’ Jepang. Ditambah lagi, pada masa Jepang, Chairil juga dekat dengan kelompok Sjahrir, dan terlihat ikut beberapa pertemuan mereka—yang memilih menentang Jepang dengan cara bergerak bawah tanah. Ini semakin menjelaskan posisi Chairil. Di hadapan Jepang dia terlihat pepat, tetapi diam-diam menyimpan kuku runcing.
Namun, bolehlah kita coba abaikan itu semua. Seandainya pun Romi benar bahwa Chairil bercorak fasistik. Kebenaran Romi akan juga menyeret banyak nama. Chairil ‘bekerja’ pada Lembaga Kebudayaan Jepang yang pemimpinnya adalah Armijn Pane. Tuduhan fasistik yang sama bisa kita lekatkan kepada Armijn Pane, bukan? Bahkan, juga, orang-orang yang bekerja di bawah bendera lembaga yang sama, di antaranya ada bapak cerpenis Indonesia, Idrus, sastrawan Asrul Sani, bahkan Pramoedya Ananta Toer. Kalau dideretkan lagi, ada Nur Sutan Iskandar, tokoh sastra Indonesia yang tidak bisa dilupakan, yang jelas-jelas menulis novel untuk tujuan propaganda Jepang. Dalam genre roman, terdapat dua roman ternama yang digunakan sebagai propaganda: Cinta Tanah Air karya Nur Sultan Iskandar dan Palawija karya Karim Halim. Di wilayah luar sastra, juga akan terseret nama Soekarno dan Hatta. Bahkan Soekarno adalah pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (organisasi propaganda yang terkenal ini) yang secara langsung turut-serta mengerahkan orang sebangsanya pergi mati sebagai romusha. Soekarno tentu lebih fasistik dari deretan pengarang-pengarang itu, bukan? Tapi fasistik-kah Soekarno, fasistik-kah mereka?
Tanpa upaya memahami jiwa zaman, jawaban ‘ya’ akan dengan cepat bisa keluar dari mulut kita. Tetapi itu bukan jawaban seorang peneliti. Peneliti semestinya teliti berkesimpulan; sedang berhipotesa saja mesti banyak menimbang dari beragam sisi. Sebuah hipotesa, apalagi simpulan, yang bersifat ‘cap’ terhadap seseorang dalam sejarah akan menjadi racun, apalagi pada dunia kreatif. Saya ingin mengutip Jassin lagi: “Bagaimana hasil dari pengerahan segenap pikiran, rasa, dan jiwa—karya sastra—dapat diberi label dengan mudah?”
Padang, 2014
(Padang Ekspres, 4 Mai 2014)



Comments
Post a Comment