Dua Tanggapan untuk Dua Senja

Oleh Deddy Arsya

Ranah Teater membawa pementasan kolosalnya ke Padangpanjang. Dua Senja dipentaskan Senin malam, 9 Desember 2013, di Teater Arena ISI Padangpanjang. Pementasan yang disutradarai dan naskahnya ditulis sendiri oleh S. Metron M itu, merupakan produksi yang ke-6 Ranah Teater sejak grup dari Padang itu pertama kali berdiri tahun 2007.

Gemuruh sebuah pesta membuka pementasan. Bunyi kemeriahan, penari-penari yang bersorak, musik yang menghentak-hentak dalam panggung yang masih gelap itu menggetarkan dada. Alek nagari kaum adat tengah berlangsung. Sekelompak pemain berbaju putih-putih, para padri, kemudian masuk hendak menghentikan perhelatan; memperkutuki pesta itu, dipersebutkannya sebagai ‘pesta babi’ tempat kafir-kafir mengadu ayam, minum tuak, dan mengisap candu. Mereka hendak mengentikan pesta, tetapi yang lain menegah. Takut perkelahian akan pecah.

Di atas panggung itu, dua pihak tidak henti-hentinya berseteru. Pihak adat pimpinan Datuk Pucuk dan pihak padri pimpinan Tuanku Tinggi. Beberapa kali pertemuan keduanya meledak menjadi perkelahian. Korban kadang berjatuhan dari kedua belah pihak. Kecurigaan terus runcing bagai mata tombak yang terus diasah. Dendam terpelihara dalam abad yang panjang dengan dibantu berbagai kejadian-kejadian tragis yang menyertai pihak masing-masing; perkosaan, pembunuhan, perampasan hak milik, pembakaran rumah.

Pertunjukan semakin jelas arahnya ketika diketahui anak gadis Datuk Pucuk dan anak bujang Tuanku Tinggi menjalin hubungan asmara diam-diam. Sebagaimana kisah Romeo & Juliet karya Shakespeare yang terkenal itu, yang dari sana kisah pementasan ini diadaptasi secara bebas, hubungan asmara itu tidak disetujui kedua pihak. Namun, sepasang orang muda dari keluarga yang berbeda ideologi itu memilih jalan mereka sendiri. Mereka melarikan diri. Demi cita-cita yang demikian luhur: dengan perkawinan mereka itu barangkali juga akan dapat ‘mengawinkan’ dua pihak yang berabad bersengketa.

Tragedi-romantik yang dipentaskan Ranah Teater itu harusnya bisa menyayat-nyayat perasaan. Apalagi, tragedi itu berlatar tarikh yang juga tidak kalah tragik: Perang Padri, perang terpanjang dan paling dramatis dalam sejarah masyarakat kita. Tetapi pementasan itu sendiri nampaknya gagal membuat hati larut. Tidak ada bulu kuduk yang meremang, dan nyaris hanya pada pembukaan jantung kita mampu dikejutkannya. Barangkali benar apa yang dikatakan beberapa orang penonton: pemain gagap bersoal teknik keaktoran, sehingga sense dramatis pementasan tidak sampai menjangkiti penontonnya. Soal itu, yang sudah panjang-lebar dijabarkan seniman-seniman terdidik dari sekolah seni di malam itu, biarlah berada pada sisi yang satu. Saya hendak membicarakan sisi yang lain: barangkali juga, misalnya, pementasan itu memang tidak disiapkan untuk mengganggu perasaan, tetapi hendak meneror pikiran. Oleh sebab itu tulisan ini akan mengarahkan mata tombaknya ke arah itu. Pikiran-pikiran macam apa yang diusung pementasan ini?

1.

Sejarah padri, bagi Belanda, adalah sejarah keberpihakan sedari awal. Sejak turut sertanya Belanda dalam kecamuk konflik, kakinya sudah jelas di mana ditegakkan. Di pihak adat tentu.

Namun, keberpihakan itu seringkali diwacanakan oleh ahli-ahli strategi politik mereka bukan sebagai sebuah keberpihakan, tetapi sebagai suatu upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berperang. Ini semakin jelas dikonsepsikan dalam Plakat Panjang yang terkenal itu, yang pada dasarnya mengatakan bahwa Belanda tidak hadir sebagai penjajah bagi masyarakat Minangkabau, tetapi hadir sebagai sekutu yang akan membawa maju. Belanda dikonsepsikan berada di sisi penengah dari perang saudara yang telah memporak-porandakan Minangkabau itu, demi terciptanya apa yang dalam bahasa politik kolonial sendiri disebut rust en orde, ketertiban dan keteraturan di dalam negeri Minangkabau itu sendiri.

Berabad lamanya, Plakat Panjang menjadi mitos politik—yang dipercayai kebenarannya tetapi sesungguhnya hampa. Mitos itu dihembuskan terus-meneruh oleh ahli-ahli Belanda dalam berbagai kesempatan. Dengan mitos itulah pihak kolonial menguasai orang-orang Minangkabau. Di balik konsepsi-konsepsi seperti itulah roda-roda kolonialisme berjalan. Menguasai pihak terjajah, mengekploitasinya, sementara pihak terjajah sendiri dibobokkan mitos-mitos Plakat Panjang di mana posisi Belanda adalah sebagai polisi perdamaian di daerah jajahannya. Padalah, dalam realitas sejarah diketahui, entah siapa yang sesungguhnya yang menjadi polisi atau menjadi pengacau?

Dalam pementasan Dua Senja, mitos Plakat Panjang itu diteruskan. Citraan kolonial sebagai juru selamat, juru damai, terlihat  dipertahankan dari awal pementasan bahkan sampai akhir. Citraan ini, misalnya, terepresentasi dengan jelas pada tokoh Tuan Residen.

Dalam sebuah adegan, ketika dua kelompok, pihak adat di bawah pimpinan Datuk Pucuk dan pihak padri di bawah pimpinan Tuanku Tinggi,  sudah sama-sama siap untuk bertempur, muncul Tuan Residen yang datang menegah, yang sekonyong-konyong hadir bagai pahlawan pendamai, yang mengeluarkan kata-kata sakti. Tuan Residen misalnya mengatakan: “Tahan, ... Masih berlanjut dendam berabad ini?” Tuan Residen, kemudian mencoba merangkul kedua belah pihak. “Darah siapa pun tak boleh tumpah, selama aku Residennya ... Mengalah tak diajarkan dalam adat dan agama kalian?” kata residen itu lagi, dan betapa heronya kalimat-kalimat itu, sebagaimana yang acap keluar dari bibir pejabat-pejabat Amerika belakangan ini, kata-kata dari polisi dunia.

Kehadiran Tuan Residen yang sekonyong-konyong itu, dianggap sebagai proteksional yang pas, bahkan oleh orang-orang Minangkabau sendiri yang sedang berseteru. “Waktu yang tepat, Residen. Kalau tidak, tanah ini akan menyerap darah,” kata Tuanku Tinggi.

Lalu, representasi Tuan Residen sebagai penegah dan penengah yang brilian kembali dikuatkan dalam adegan berikutnya. Kedua pimpinan besar itu, dengan penuh arif, diajaknya bermusyawarah. “Datuk Pucuk, Tuanku Tinggi, tinggallah. Mari selesaikan masalah ini dengan beradab,” kata Tuan Residen kepada kedua belah pihak. Representasi Tuan Residen sebagai wakil dari ‘keberadaban’ sekaligus menegaskan bahwa pihak adat maupun padri adalah negasinya: brutal, ekstrim, primitif—yang menyelesaikan sengketa tidak dengan duduk bersama, tetapi dengan pedang terhunus. Ada dualitas yang dibangun; kearifan datang dari pihak kolonial, dan orang Minangkabau sendiri seakan tidak punya cara menyelesikan konflik dalam tubuh mereka sendiri selain dengan dentangan pedang.

Jika kritik postkolonial kita pakaikan: suara-suara kolonialisme masih meninggalkan gemanya dalam pementasan ini. Suara-suara yang berabad dijaga para cendekiawan dan pejabat kolonial di tanah Minangkabau itu sendiri. Dua Senja kembali melanjutkan suara-suara itu, pikiran-pikiran itu, yang dijaga sejak Raff, Stuers, van de Bosch, hingga Westenenk.

2.

Tuan Residen dengan representasi seperti di atas itu hampir dipertahankan sepanjang pementasan. Representasi itu seperti menetap, sebagaimana tema pertentangan adat dan agama dalam pementasan itu—yang juga telah menjadi tema yang menetap dalam konstruk sejarah kita bahkan sampai hari ini. Kontruksi yang belum tentu merupakan kebenaran, tetapi dicurigai sebagai bangunan yang disusun berdasar corak pikir kaum kolonialis Belanda yang menyesuaikan dengan visi-visi kolonialisme mereka.

Dua Senja melupakan bahwa ada alternatif-alternatif lain dari pikiran-pikiran kolonial yang membelenggu itu. Salah satu alternatif itu adalah, unsur adat dan agama tidak melulu bertemu sebagai musuh. Sebagaimana yang dituliskan Taufik Abdullah misalnya,  tetapi lebih acap “paradigma kultural baru dapat melebur kedua unsur itu, adat dan agama, dalam sebuah keutuhan.” Sehingga adat dan Islam akan menjadi tak ubahnya dengan kuku dan daging. Tidakkah, baik pihak adat maupun pihak agama, memiliki kemampuan untuk intropeksi dan mawas diri, yang dalam bahasa Anthony Giddens disebut reflective agent? Tidakkah bersatunya kaum padri dan adat adalah karena masing-masing pihak mawas diri bahwa apa yang selama ini mereka pilih sebagai kebenaran ternyata adalah kekeliruan.

Ada upaya yang telah dimulai ke arah sana sesungguhnya dalam pementasan ini. Dua tokoh dari kedua belah pihak, anak bujang Tuanku Tinggi dan anak gadis Datuk Pucuk, telah melakukan apa yang diistilahkan Giddens di atas itu. Mereka mulai sangsi. Mereka mulai merefleksi sejarah kaum mereka sendiri. Mereka mulai bertanya-tanya, apakah kebenaran yang dianggap sebagai kebenaran oleh masing-masing pihak betul-betul adalah kebenaran itu sendiri? Mereka sampai pada kesimpulan bahwa apa yang selama ini dipertahankan kedua belah pihak bukanlah kebenaran itu sendiri. Mereka akhirnya memilih bersatu dalam ikatan cinta yang universal, menolak melanjutkan perseteruan yang bapak-bapak mereka telah lakukan, sekalipun upaya mereka itu ramai-ramai ditegah juga oleh masing-masing pihak dengan kerasnya.

Mereka memang berhasil bersatu dalam ikatan cinta yang universal. Namun, dalam pementasan ini,  itu sesungguhnya tetap tidak menyatukan keduanya dalam konteks yang lebih luas; dengan pertemuan dua individu itu tidak berarti bahwa kedua unsur adat dan agama yang mereka usung masing-masing juga akan menjadi sebuah keutuhan. Pertemuan itu ternyata tetap akan melenyapkan salah satu unsur, tetap ada yang akan tenggelam di antara keduanya. “Menurutmu, senja Paderi atau senja Adat yang akan tenggelam?” kata anak gadis Datuk Pucuak kepada anak bujang Tuanku Tinggi pada akhir-akhir pementasan.

Pementasan itu memang tidak menjawab siapa yang akhirnya tenggelam. Tetapi waktu telah memberi kita jawaban: tidak ada yang tenggelam, kedua unsur itu, adat dan agama, hidup terus sampai hari ini. Dan tidak melulu keduanya bertemu sebagai musuh, yang akan saling menenggelamkan. Tetapi lebih acap hadir sebagai keutuhan.

Pandai Sikek, 2013-12-10

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini