Dua Sisi Kartini: Mau Kita Apakan Kartini?
Oleh Deddy Arsya
Setiap tanggal 21 April, kita memperingati Hari Kartini. Setiap peringatan itu, sikap kritis kita menyeruak keluar. Banyak yang protes begini: kenapa Kartini, perempuan Jawa itu, yang jadi icon perempuan Indonesia. Hari lahirnya diperingati sebagai hari nasional. Padahal banyak perempuan lain dari berbagai daerah yang lebih pantas.
Ukuran pantas yang diajukan beragam. Kartini terkenal di antaranya karena kebetulan berkirim-kirim surat, dengan orang Belanda pula. Lalu surat-suratnya disiarkan pers kolonial pula, dan dia jadi pahlawan karena itu. Kesangsian lain berkata: wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Sementara tokoh perempuan lain mengangkat pedang, dipenjarakan, bersakit-sakit di bawah kuasa patriarkis kolonialisme, dan sebagainya. Perjuangan mereka lebih keras dibanding Kartini yang akhirnya toh takluk di bawah kuasa patriarkis Jawa yang hendak dilawannya. Kartini takluk saat dijadikan selir Bupati Rembang, dan ia mati muda pada usia 25 tahun dalam keadaan menjadi selir.
Dekonstruksi atas tokoh-tokoh sejarah memang ramai pasca-Orde Baru tumbang. Maklum, kekuasaan otoriter penguasa wacana dan pikiran telah runtuh. Tidak hanya Kartini yang coba didekonstruksi, Imam Bonjol juga dengan keras ‘dihantam’, dianggap tak layak jadi pahlawan sebab gerakannya keras ala wahabiah, konon membantai bangsa sendiri di utara sana untuk menyebarkan Islam. Begitupun Diponegoro, pangeran itu tidak memperjuangkan bangsa, tetapi hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri yang tergusur kekuasaan Belanda lalu menyeret sekujur Jawa ke dalam perang. Dan masih banyak lagi.
Tapi sudahlah, tulisan ini tak hendak melanjutkan perdebatan demi perdebatan. Tidak dapat pula saya membandingkan mana yang lebih hebat dan lebih pantas, Kartini atau tokoh perempuan yang lain. Sulit dijawab. Sebab, tokoh-tokoh itu tidak lahir dari ruang dan waktu yang kosong. Mereka dibentuk oleh gerak sejarah masing-masing yang berbeda, ruang dan waktu yang hidup dan bergerak laju, tidak diam-mati. Maka baik kita refleksikan apa yang ada selagi bangsa ini masih punya pahlawan perempuan, masih punya hari untuk perempuan.
Kalau kita telisik sejarah, Kartini dianugerahi gelar ‘Pahlawan Nasional’ bersama Tjoet Nyak Meutia dan Tjoet Nja’ Dhien pada Mei 1964 oleh Sukarno. Pada penganugerahan itu juga, 21 April diperingati secara resmi sebagai ‘Hari Kartini’. Sebelum itu, tidak ada dikenal Hari Kartini. Pada masa itu, semangatnya adalah karena Kartini dianggap perempuan yang berani keluar dari cangkang kerang patriarkis Jawa yang keras. Kartini dianggap pelopor kebangkitan perempuan pribumi di tengah kekuasaan yang menekan perempuan.
Ada cerita yang berkembang tentang Kartini, misalnya, dia terpana melihat anak petani berumur enam tahun tak berbapak. Ibu anak itu bekerja keras membanting-tulang untuk menghidupi dirinya dan dua adiknya yang lain. Kartini sadar derita & kemelaratan yang mengelimuti masyarakatnya. “Seketika itu juga seakan udara menggetar oleh ratap-tangis, erang dan rintih orang-orang di sekelilingku,” tulis Kartini bersemangat.
Kalau kita baca surat-surat Kartini yang terkenal itu, memang kita akan dapatkan semangat yang bergelora untuk mengubah sejarah kaumnya. Semangat akan kemajuan bagi perempuan pribumi. Kemelaratan kaum tani dan lumpuhnya perekonomian perempuan bumiputra itu, direspon Kartini dengan melatih kursus keahlian batik dan ukiran.
Kartini juga menyerukan perempuan untuk jangan mengeluh. “Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi! Bila tiada bermimpi, apakah jadinya hidup! Kehidupan yang sebenarnya kejam,” tulisnya. Suara Kartini dalam sebagian surat-suratnya sama beringasnya dengan kilatan pedang Siti Manggopoh.
Tapi, pada masa Orde Baru, sosok Kartini kehilangan sisinya yang itu. Kartini memasuki mistifikasi baru di rezim baru: perempuan ayu, berkebaya, masak, dan ditonton dalam karnaval, catat Muhidin M Dahlan dalam sebuah tulisan. Betul saja. Kartini menjadi sosok yang hanya ‘body’, tanpa jiwa: Kartini ‘tidak terasa beringas’ lagi. Sosok Kartini ini direpresentasikan pada ibu-ibu darmawanita, istri-istri pejabat yang ikut upacara mendampingi suaminya, dan sejenisnya. Perempuan yang Kartini itu adalah ibu rumah tangga yang baik, yang pandai memasak, pandai menjahit, merawat anak. Dulu, katanya bahkan ada perda, kalau tak lulus PKK, tak dapat sertifikat pelatihan tertentu, perempuan belum boleh kawin.
‘Sisi beringas’ Kartini itu dipudurkan, digantikan sisi Kartini yang kalem. Bukan Kartini pada masa berjuang, tetapi Kartini pada masa dalam harem jadi selir. Bukan Kartini yang berani bermimpi, dengan moto hidup “Aku mau...” yang terkenal itu, tetapi Kartini yang pasrah: "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." kata Kartini di tahun 1903.
Kartini memang memiliki dua wajah yang merepresentasikan dua periode kehidupannya. Kartini yang bergelora penuh api, dan Kartini yang akhirnya menyerah pasrah pada kuasa patriarkis Jawa. Kalau sosok yang kedua yang dimunculkan dan menjadi icon/panutan untuk perempuan Indonesia kini, sebagaimana riwayat hidup Kartini, perempuan Indonesia juga ‘hanya akan mati muda’. Mati kesepian dalam ‘harem’.
Keluarlah dari cangkang kerang yang keras itu, nyalakan api! Selamat Hari Kartini!
Padang, 2014-04-21



Comments
Post a Comment