Dos-dos-dos: Bendi-bendi Melawan Zaman (Sumatera Barat, Abad XIX & XX)

Bendi yang ditarik kuda, atau kuda-bendi, atau dos, atau dokar, mulai populer digunakan di Sumatera Barat ketika “jalan raya mulai bagus”.[1] Sekurang-kurangnya itu berlangsung setelah memasuki paro kedua abad ke-19, ketika pemerintah Belanda memulai proyek-proyek jalan raya di kawasan ini, dan mencapai puncaknya pada akhir abad tersebut. Sebelum itu, moda transportasi lebih banyak diperankan oleh kuda tanpa pasangan (baik kuda beban maupun kuda tunggangan) dan buruh/kuli angkut. Sebelum membahas bendi lebih jauh, perlu diuraikan terlebih dahulu perkembangan moda transportasi yang populer sebelum bendi menjadi angkutan massal.

Kuli Angkut dan Kuda Beban

Minangkabau berada di bagian tengah pulau Sumatera. Pusat Minangkabau adalah daerah tiga ‘luhak’ yang subur. Berada di pedalaman, daratan tinggi (darek) ini dilingkari barisan-barisan pegunungan menjulang yang beberapa di antaranya aktif menyemburkan abu vulkanik. Dengan bentangan alam seperti itu, secara sekilas wilayah ini tampak terisolir dari dunia luar. Tetapi anggapan itu keliru belaka ketika mengetahui bahwa orang Minangkabau memiliki tingkat mobilitas yang tinggi sepanjang kehadiran mereka dalam sejarah.

Mobilitas antara pusat Minangkabau dengan wilayah di luarnya terjadi karena dorongan kultural: etos Minangkabau yang mendorong orang untuk melakukan ‘pengembaraan’ atau secara lebih populer kemudian dikenal sebagai ‘merantau’. Pada kurun tertentu, etos ini didorong semakin aktif oleh gejolak-gejolak politik. [2]Tetapi, lebih dari itu, mobilitas akan lebih banyak disebabkan oleh stimulus ekonomi. Sepanjang abad ke-16 sampai abad ke-19 , mobilitas itu lebih banyak didorong oleh yang terakhir disebutkan.

Hubungan timbal-balik antara pusat-pusat penghasil komoditas dagang di pedalaman dan pasar-pasarnya di kota-kota pesisir pantai adalah pemicu utama mobilitas orang Minangkabau sepanjang kurun di atas. Daerah pedalaman adalah daerah utama penghasil emas di Sumatera sejak masa yang lebih jauh di belakang, belum lagi karena memiliki tanah yang subur kawasan itu juga menghasilkan komoditas-komoditas penting bagi pasaran dunia, semisal cengkeh dan lada, kopi dan akasia. Sementara pasar-pasarnya yang penting berjejer di sepanjang pesisir pantai, terutama pantai barat. Bandar-bandar utamanya seperti Padang, Pariaman, Tiku dan Air Bangis, menjadi tempat ‘pengkapalan-pengkapalan’ emas dan hasil-hasil pertanian itu ke pasar dunia. Bandar-bandar itu dikunjungi para pedagang dari berbagai bangsa untuk melakukan transaksi dagang yang di sana pula kongsi-kongsi dagang Eropa bercokol menjalankan praktik ekonominya.

Untuk mendukung mobilitas itu, hubungan ke kota-kota dagang di pantai barat praktis tidak dapat dilakukan lewat jaringan sungai. Penduduk pedalaman Minangkabau hanya dapat memanfaatkan jaringan jalan dagang/jalan setapak menuju ke wilayah rantau pesisir baratnya itu. Karena sungai-sungainya tidak dapat dilayari, angkutan darat lebih berperan di sini, yang sepanjang abad ke-16 hingga ke-19 hanya didominasi pengangkutan menggunakan kuda maupun manusia. Pembicaraan selanjutnya akan lebih difokuskan kepada moda angkutan darat sebagai moda transportasi yang dipakai untuk menghubungkan pedalaman Minangkabau dengan pesisir pantai (kuhusunya pantai barat Sumatera) sebelum paro pertama abad ke-19, tepatnya sebelum bendi diperkenalkan sebagai sarana transportasi massal yang populis.

Pesisir barat Sumatera sendiri mulai ramai dilirik setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada awal abad ke-16.[3] Sebelum itu, perdagangan ke pantai timur lebih menjadi primadona, termasuk bagi orang Minangkabau. Orang-orang Minangkabau membawa emas dan lada mereka melalui jalur-jalur sungai yang menjalar hingga ke muara-muara Selat Malaka, untuk kemudian diperdagangkan di bandar-bandar pesisir timur seperti Jambi, Palembang, ataupun di Malaka sendiri. Namun, kejatuhan Malaka membuat pantai timur mulai tidak dilirik karena, hal ini mestimulasi tumbuhnya kota dagang baru. Aceh yang terletak di ujung utara [dengan bandar utamanya di sisi pesisir barat] Sumatera mulai bangkit dan menguasai rute dagang, yang kehadirannya menstimulasi pertumbuhan kota-kota dagang di selatannya, termasuk di pesisir barat Minangkabau. Untuk kasus Minangkabau, pedalaman dan pesisir menjalin hubungan timbal-balik: sebagian besar komoditas ekspor didatangkan dari produksi di pedalaman, sebaliknya sebagian besar barang-barang yang diimpor ke kota-kota pantai dikonsumsi penduduk pedalaman.[4]

Pada periode abad ke-16 hingga awal abad ke-19, hubungan kota-kota pantai barat dan daerah pedalaman itu dilakukan melalui transportasi darat. Prasarananya adalah jaringan jalan setapak. Sebelum pemerintah kolonial Belanda membangun jaringan jalan raya, setidak-tidaknya terdapat 12 rute jalan setapak yang menghubungkan kota-kota pantai dengan daerah pedalaman, dari ujung utara Minangkabau hingga ke daerah-daerah paling selatan, termasuk ke tanah Batak yang lebih ke utara lagi. Jalan-jalan setapak itu, tulis Asnan, dimanfaatkan sebagai jalan dagang.[5] Orang-orang yang memanfaatkan jalan ini biasanya adalah para saudagar.

Jalan-jalan setapak ini hanya bisa dilalui oleh orang dan kuda beban. Untuk itu, sarana transportasi pada periode ini dimainkan oleh peran kuda dan manusia: peran manusia terepresentasi pada kuli angkut; peran kuda terepresentasi pada kuda-beban & kuda-tunggangan. Dalam kurun perdagangan pantai, pengangkutan oleh manusia diperankan oleh para kuli angkut. Mereka tidak hanya memanggul barang, tetapi kadang juga memanggul manusia dengan menggunakan tandu. Untuk yang pertama, para kuli itu biasnaya membawa barang milik para saudagar. Barang-barang biasanya dibawa dengan cara memikul di atas pundak atau kepala mereka. Asnan mencatat bahwa kuli angkut ini terdiri dari penduduk pribumi dan ada juga dari penduduk Nias. Setiap orang rata-rata bisa membawa barang dengan cara ini seberat 2530 kg.[6] Sementara untuk yang kedua, diperankan oleh budak-budak belian, yang memanggul tandu-tandu yang digunakan untuk mengangkut raja-raja atau para penghulu.

Di Minangkabau, pada pertengahan abad ke-17 hingga awal abad ke-18, masih ditemukan budak-budak yang menghamba kepada keluarga raja Pagaruyung disebabkan karena mereka melakukan suatu tindakan kejahatan berat seperti melakukan pembunuhan. Christine Dobbin mencatat, bahwa pada kurun tersebut di dataran tinggi Minangkabau masih sering ditemui budak-budak raja yang menjadi budak karena kejahatannya dan telah dibuang dari keluarganya.[7] Dobbin mencatatkan bahwa terdapat dusun-dusun kecil pemukiman budak di dekat istana Pagaruyung karena pelaku kejahatan yang terhukum lalu mencari perlindungan di istana. Hingga beberapa dekada awal abad ke-19, di Minangkabau masih ditemukan budak-budak yang menjadi budak karena ditawan atau kalah perang. Budak-budak belian itu dimanfaatkan untuk mengerjakan berbagai pekerjaan. Budak-budak ini adalah tawanan perang yang dibawa dari Batak, sebagai hasil dari penyerangan padri ke utara, ke daerah sekitaran Mandailing dan Angkola. Mereka di antaranya menyerjakan sawah-sawah orang-orang Padri di dataran tinggi Minangkabau atau memikul karavan dagang (sebagai kuli panggul) milik tuanku-tuanku Padri dari dataran tinggi ke pesisir barat, termasuk sebagai tukang panggul tandu.

Selain peran manusia, sarana transportasi yang juga penting pada periode ini adalah kuda. Bagi masyarakat Minangkabau tradisional, kuda menduduki posisi yang terhormat. Binatang satu ini lambang maskulinitas—keperkasaan dan kekuatan. Penaklukan dan perang dalam sejarah didukung oleh kekuatan kuda. Dalam episteme Minangkabau, representasi kuda adalah Si Gumarang, kuat lagi keramat, yang ‘mengawal’ keluarga kerajaan dalam perang-perang mereka; misalnya, ikut serta dalam rombongan penjemput Puti Bungsu, membawanya dengan selamat ke Pagaruyung. Gumarang menjadi representasi bagi kekuatan mobilitas.

Di periode perdagangan pantai, kuda menjadi alat transportasi yang penting, baik sebagai kuda beban maupun sebagai kuda tunggangan. Yang pertama untuk mengangkut barang, yang kedua untuk mengangkut manusia/orang. Menurus Asnan, kuda beban bisa mengangkut barang sebanyak 1 sampa 1,5 kuintal.[8] Sementara kuda tunggangan hanya mungkin mengangkut paling banyak dua orang.

Kuda yang dipakai untuk pengangkutan barang biasanya adalah jenis ‘kuda sawah’, kuda dengan postur yang relatif lebih kecil. Kuda kategori ini biasanya sedikit lebih besar dari keledai, sehingga bukan merupakan kuda yang unggul.[9] Sementara sebagai kuda tunggangan, dipakai kuda yang lebih unggul dan kuat dengan postur yang lebih besar, dan tentu saja dengan harga jual yang juga lebih mahal. Kuda ini biasanya untuk ditunggangi kaum elite karena nilainya itu, yang dengan begitu logis belaka jika hanya orang-orang tertentu yang dapat bermobilitas dengan kuda, sementara orang kebanyakan lebih banyak berjalan kaki.[10]

  Baik kuda sebagai tunggangan maupun alat angkut barang terus menjadi penting artinya bahkan pada periode awal kolonial, di mana di antaranya digunakan pegawai artileri (officer artilerie) Belanda dalam perang dengan kaum Padri; begitu pun sebaliknya, pasukan Padri juga menggunakan kuda sebagai kendaraan tempur.[11] Selama masa Padri, kuda menjadi kendaraan penting untuk mobilitas selama perang—berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Pada masa ini, “Memelihara ternak lebih2 kuda, diadjarkan dengan seksama, begitu pula mengendarai kuda,” begitu tertulis dalam buku Minangkabau Tanah Adat, sebuah catatan pelancongan yang ditulis tahun 1955 oleh seorang penulis perempuan bernama Limbak Tjahaja.a[12] Bahkan, pasca-Padri, setelah perang nyaris tidak ada lagi, beberapa kepala negeri, demang, tuanku laras, dan keluarga pembesar pribumi tetap memakai kuda sebagai kendaraan kebesaran. Tidak hanya bagi pribumi, dalam upacara-upacara di Gubernemen, kuda juga menjadi tunggangan bagi pembesar-pembesar Belanda. Kondisi ini setidak-tidaknya terus berlanjut hingga prasarana transportasi semakin baik dengan dibangunnya jalan raya yang lebih bagus yang memungkinkan hadirnya sarana transportasi baru yang lebih efektif untuk pengangkutan barang maupun orang.

Jalan raya sebagai stimulus pertumbuhan sarana transportasi

Proyek jalan tidak dimulai secara besar-besaran sebelum abad ke-19. Sebelum abad itu, untuk menghubungkan antar daerah yang jauh, hanya terdapat ‘jalan dagang’, jalan setapak kecil, sebagai yang telah disinggung juga di muka.[13] Lewat jalan itulah, mobilitas orang dan barang berlangsung. Kondisi jalan yang tidak memadai (belum dikeraskan atau tidak cukup lebar) hanya memungkinkan perjalanan dan pengangkutan ditempuh dengan kuda (beban maupun tunggangan) dan kuli angkut.[14]

Proses kolonial-lah yang kemudian menumbuh-kembangkan jalan raya; yang berhasil ‘menyatukan’ nagari yang terpecah-pecah itu ke dalam satu otoritas tunggal bernama kekuasaan kolonial. Dan itu dimulai pada awal abad ke-19, ketika pemerintah kolonial Belanda memasuki daratan tinggi Minangkabau untuk terlibat dalam perseteruan dengan kaum Padri, yang dalam sejarah dikenal sebagai Perang Padri. Asnan, dalam artikel lain, menulis bahwa untuk mendukung gerak-laju (mobility) tentara Belanda dalam Perang Padri, dibutuhkan pembangunan/ perbaikan jalan. Gubernur Johannes van den Bosch's datang ke Sumatera Barat pada 1833 dan mencanangkan pembangunan jalan yang luas. Untuk memuluskan ‘perjalanan’ menuju kemenangan dalam Perang Padri, van den Bosch's meminta elit-elit lokal untuk membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan kota utama, Padang, dengan kota-kota satelitnya.[15] Selama dan setelah Perang Padri, orang-orang diarak Belanda pergi berrodi untuk membangun jalan-jalan raya itu. Nagari-nagari hampir seluruhnya dapat jatah dan tanggungjawab memenuhi kouta rodi. Datuk-datuk berperan sebagai ‘tukang arak’, jika ada kemenakan yang mangkir rodi, akan didenda atau dipasebankan (dipenjara).[16] Suatu praktik yang nyaris dapat diramalkan tidak akan dapat terlaksana pada masa sebelum itu karena ketiadaan otoritas tunggal.

Perhubungan dengan Padang Panjang lewat Lembah Anai dibangun di atas jalan dagang, jalur dagang tradisional yang pernah ada. Pembangunannya dimulai 1833 dan diselesaikan pada 1841. Di periode yang sama, pemerintah juga membangun jalan yang menghubungkan antara Pandang Panjang dan Bonjol via Padang Luar dan Matue. Dari Padang Luar pembangunannya diteruskan ke Bukittinggi dan Payakumbuh. Kota yang pertama disebutkan adalah pusat militer kolonial Belanda di Daratang Tinggi, sementara yang terakhir adalah pusat aktivitas ekonominya.[17] Pada pertengahan 1830an, dari pesisir utara Padang telah terbentang jalan ke Pariaman, Tiku , Maninjau dan Matueyang bertemu dengan jalan Padang-Panjang ke Bonjol. Sementara untuk rute Solok-Alahan Panjang, Solok-Batipuh, Solok-Sijunjung, Sijunjung-Batu Sangkar and Buo, and Air Bangis-Lundar, mulai dikerjakan dalam proyek pembangunan jalan tahap kedua, dimulai pada 1844 dan diselesaikan pada 1860s.[18] Para periode ini, pemerintah juga membangun rumah-rumah peristirahatan (rest houses) bagi para pejalan dan juga sebagai tempat menyegarkan kuda (fresh horses) untuk kuda beban.[19]

Seiring pertumbuhan pesat jalan raya inilah, variasi moda transportasi pun tumbuh. Kuli angkut dan kuda beban masih populer, tetapi pedati dan bendi menjadi primadona baru moda transportasi. "In addition to coolies and packhorses, other popular means of transport at that time were the buffalo-drawn cart (pedati) and the twowheeled carriage (bendi)," begitu tulis Asnan lagi.[20] Sekalipun kepopuleran keduanya juga punya jangka waktu, yang mana di masa-masa kemudian, moda transportasi modern yang berasal dari dunia maju perlahan-lahan juga merengsek masuk ke Sumatera Barat, terutama mobil dan kererta api, menggantikan yang tradisional. Bagaimana moda transportasi modern menggeser peran bendi sebagai moda transportasi tradisional, hal itu akan dibicarakan lebih jauh pada bagian di muka. Bagian berikut akan lebih dulu mengelaborasi bagaimana bendi tumbuh menjadi moda transportasi massal yang populer di mana terlebih dahulu didahului sebagai moda transportasi kalangan elite/kalangan terbatas.  

Pertumbuhan bendi ada periode awal: ‘Pakaian’ kalangan elite

Dibandingkan bendi, pedati adalah moda transportasi yang lebih utama pada periode ini. "All of these roads could be used by pedati (buffalo-drawn carts). The aim of the road network was to facilitate the logistics of the Dutch siege of Bonjol, the centre of the Padri," tulis Asnan pula. Dalam artikelnya, Asnan berbicara lebih panjang lebar mengenai pedati; jalur yang dilewati pedati, sais, hingga, jumlah bayaran tiap ton yang diterima. “Pedati drivers travelled in groups, with for instance coolies and people leading packhorses. A trip usually started just after dawn, at about 5 or 6 a.m. Travelling in groups reduced the risk of robbery,” tulisnya mengutip Kielstra (1886). Tetapi Asnan nyaris tidak mengelaborasi apa pun tentang bendi, sekalipun dia sempat mencatatnya sekali sebagai salah satu alat transportasi populer (bersama pedati) pada periode abad ke-19 yang menjadi fokus temporal pembicaraannya.

Di kurun Tanam Paksa Kopi, masuk akal belaka jika pedati menjadi lebih penting, karena memang daya angkutnya yang besar, mampu mengangkut 8-10 pikul (500-620 kg) muatan. Sementara bendi adalah alat angkut manusia, bukan alat angkut komoditi dagang sebagaimana pedati, sekalipun terkadang masing-masing juga mengangkut kedua jenis ‘penumpang’ itu ketika dibutuhkan. Bendi tidak banyak disebut karena bukan merupakan moda transportasi untuk pengangkutan barang dalam jarak yang jauh pula, sementara penglihatan Asnan tampak lebih cendrung melirik bagaimana keterkaitan pertumbuhan perdagangan dengan moda transportasi, di mana pedati akan lebih berperan untuk itu.

Cikal bakal bendi di Minangkabau mungkin adalah bugi. Bugi merupakan kereta tanpa tingkap yang ditarik kuda, mungkin diciptakan agar dapat mengangkut penumpang lebih banyak dari sekedar kuda tunggangan. Bugi hadir sebagai moda transportasi kalangan elite, sehingga terkesan mewah lagi eksklusif. Hanya kalangan-kalangan tertentu saja yang memiliki bugi. Bugi dijadikan lambang status para pemiliknya. Untuk itu, bugi cendrung menjadi kendaraan pribadi ketimbang massal. Hatta, misalnya, yang berasal dari kalangan elite Minangkabau, berpose di atas sebuah ‘bugi’ milik keluarganya pada 1912. Di bawah foto itu, yang termuat dalam memoirnya, Hatta menulis keterangan: “Aku waktu berumur 10 tahun, naik “Bugi” di halaman rumah hendak pergi ke sekolah”.[21]

  Belum dapat dilacak sejauh ini, bagaimana kemudian bugi ditinggalkan, dan mengalami ‘modifikasi’ menjadi bendi. Bendi, kereta yang ditarik kuda juga, tetapi keretanya memiliki tingkap, mungkin saja telah menggantikan bugi, atau setidak-tidaknya mengalahkan kepopuleran bugi sehingga menyebabkan bugi menjadi ‘antik’. Pengarang lagu mengenangnya sebagai ‘bugi lamo’, merepresentasikan ‘keberlaluannya’. Sementara bendi (yang juga ditarik kuda) menjadi semakin populer, sekalipun pada awalnya juga sebagai ‘pakaian’ kalangan elite.[22]  

Perkembangan bendi sebagai moda transportasi massal, pada akhir abad ke-19 hingga 1930an:

Kepopuleran bendi sebagai moda transportasi massal terjadi seiring tumbuhnya kota-kota kolonial dan [terutama, sebagaimana telah juga disinggung sebelum ini] setelah jalan raya berkembang dengan pesat pada akhir abad ke-19 di Sumatera Barat. Bendi menjadi primadona di kota-kota besar kolonial seperti Padang, Bukittingi, dan Payakumbuh. Pada 1892, misalnya, di Bukittinggi hanya terdapat 125 bendi; tetapi berkembang nyaris empat kali lipat pada tahun 1904 sehingga menjadi 531 bendi. Di Payakumbuh hanya ada 33 bendi tahun 1885, tetapi angka itu telah jauh melonjak menjadi 969 tahun 1903, dan terus bertambah hingga menjadi 1.200 pada tahun 1904.[23] Di kota-kota tersebut, terdapat terminal bendi, artinya pemerintah kolonial tampak memberi perhatian terhadap moda transportasi jenis ini. Pada kurun ini, bendi tidak hanya melayani rute dekat dari pasar ke pasar di kota-kota penting kolonial, tetapi bahkan juga melayani rute perjalanan yang jauh menuju ke pesisir pantai. Bendi bahkan bisa melewati jalan-jalan dengan kontur yang ekstrim seperti jalur menanjak di Lembah Anai[24] dan jalur menanjak dari Padangpanjang ke Solok Selayo.[25]

Pada periode yang bersamaan sesungguhnya angkutan mobil dan kereta api juga telah mulai tumbuh. Dimulai sama-sama sejak akhir abad ke-19, keduanya telah saling bersaing merebut hati masyarakat pengguna transportasi. Mobil telah didatangkan dari Singapuran pada 1896. Mengenai pertumbuhan mobil, catatan sejarah mengatakan bahwa pada awal 1920an telah terdapat lebih dari 3000 angkutan mobil di Sumatera Barat. Pada akhir dasawarsa yang sama jumlah mobil telah mencapai angka 7000. Angkutan mobil juga tumbuh seiring terus tumbuhnya jalan raya.[26] Parada Harahap yang melakukan perjalanan ke Sumatera Barat pada 16-20 Oktober 1925 memberikan laporan bahwa “outo-outo sewaan jang djoemlahnja boekan sedikit disaban-saban station, hingga djika kita berdjalan disana dengan menentang seboeah koffer alamat orang perdjalanan, nistjaja kita diteriaki oleh soepir-soepir jang berloemba-loemba mentjari moeatannja.”[27] Menurut Parada: “Bagoesnja auto poen haroes dipoedji hingga kita heran mengapa auto sebagoes itoe dipakai orang oentoek tambangan jang kadang-kadang di isi dengan segala roepa barang, seperti ikan, barang, dan sebagainja.”[28]

Pada periode yang nyaris bersamaan kemuculannya dengan mobil, seiring ditemukannya batubara di Ombilin-Sawahlunto,[29] kereta api juga hadir sebagai sarana transportasi baru di Sumatera Barat. Untuk memperlancar pengiriman batubara ke luar Sumatera Barat, pemerintah kolonial membangun jaringan kereta api dari Sawahlnto ke Emma Haven di selatan Padang. Kemudian, jalur itu diteruskan, sampai ke kota-kota penting Sumatera Barat lainnya, seperti Sijunjung, Pariaman, Bukittinggi, dan Payakumbuh. Keberadaan jalan kereta api ini menjadi “dorongan besar bagi arus orang dan barang antara Padang dengan pusat-pusat penduduk di daratan tinggi,” begitu tulis Colombijn.[30]

Namun, dibanding naik kereta api, naik mobil relatif lebih murah ongkosnya. Jarak tempuh Padang-Padangpanjang, misalnya, untuk naik mobil penumpang hanya membayar 2,5 Gulden untuk satu orang. Sementara kereta api dengan tiket kelas satu penumpang bisa membayar 3, 2 Gulden untuk jarak yang sama. Untuk tiket kelas dua memang lebih murah dibanding dengan memakai mobil, hanya 1,74 Guldan, tetapi setelah dihitung-hitung dengan ongkos dari stasiun ke rumah atau sebaliknya, “soedah djadi melebihi” 3 Gulden. Dengan perbandingan biaya perjalanan seperti demikian, Parada mencatat, “... tidak heran orang lebih senang memakai outo ... jang boleh disoeroeh datang sadja ketempat jang kita kehendaki demikian poela boleh kita soeroeh berhenti kemana tempat jang kita ingin berhenti, boekan seperti keada’an kereta-api”.[31]

Kehadiran mobil maupun kereta api memang telah mengejala dalam masyarakat Sumatera Barat setidaknya hingga 1930, sebelum depresi ekonomi melanda: dunia. Tetapi, itu tidak lantas menggantikan peran bendi sebagai moda transportasi. Harus pula diingat bahwa mobil maupun kereta api dipergunakan orang untuk perjalanan jarak jauh, sementara untuk perjalanan jarak pendek orang lebih memilih naik bendi saja, sekalipun tidak jarang juga melayani rute-rute jarak jauh juga.. Hal ini di antaranya disebabkan karena pada kasus kereta api, misalnya, kereta api telah memiliki rute-rute yang tetap dari stasiun ke stasiun yang relatif berada dekat dengan daerah perkotaan, sehingga tidak bisa melayani jalur-jalur di luar rute itu, artinya tidak bisa menjangkau daerah-daerah yang relatif jauh dari stasiunnya. Jika pun orang menggunakan kereta api, tetapi pengangkutan dari tempat bertolak/tempat tinggal ke stasiun atau sebaliknya masihlah menggunakan bendi. Sementara untuk kasus mobil, pada kurun awal ini mobil masih merupakan sarana transportasi eksklusif, digunakan kebanyakan oleh kalangan saudagar, sehingga ongkos mobil dapat dikatakan masih relatif mahal untuk kantong kebanyakan pribumi. Selain itu, mobil belum melayani rute-rute jarak pendek dari kampung ke kampung,[32] karena rute mobil hanya menempuh jalan-jalan raya, sementara lebih banyak lagi daerah-daerah terutama kampung-kampung yang tidak berada di pinggir jalan raya, atau belum tersentuh pembangunan jalan raya yang memadai. Oleh sebab itu, jikapun mobil yang dipilih untuk perjalanan jauh, alat angkut dari rumah/tempat tinggal menuju terminal atau tempat pemberhentian di jalan raya masihlah menggunakan bendi.

Untuk kasus Payakumbuh sendiri pada periode ini, telah ada rute mobil tambangan/angkutan dan kereta api. Parada mencatat, pada 1925, dari Bukittinggi ke Payakumbuh dapat ditempuh dengan kereta api dan mobil, dengan sewa yang tidak jauh berbeda, tidak sampai 2 Gulden. Parada tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana atau dengan perhubungan antar kampung dalam daerah Payakumbuh itu sendiri terjalin. Payakumbuh, kata Parada, pasarnya dikunjungi tidak kurang “30.000 manoesia.”.[33] Pasar Payakumbuh “pekan jang paling besar diseantero Sumatera Barat”. Orang-orang datang dari “segenap 50 kota, masing-masing membawa dagangannja, hasil daripada kebonnja, disanalah djoeal mendjoeal kehasilan sendiri didjoeal, dibelikan barang lain, demikianlah masing-masing satoe sama lain sama perloe, hingga pekan itoe djadi ramai.”[34] Dengan apakah mobilitas ke Payakumbuh dari ‘segenap 50 kota’ itu berlangsung. Parada tidak menjelaskannya, tetapi sudah dapat diduga bahwa mobilitas itu menggunakan bendi sebagai moda utamanya.  

Perkembangan bendi pada masa akhir kekuasaan kolonial Belanda hingga awal kemerdekaan Indonesia

Sudah kita lihat bahwa setidak-tidaknya menjelang pecah Perang Dunia II, mobil sewaan atau outobus memang tumbuh dengan ramai. Pada 1930an, misalnya, “terdapat beberapa buah perusahaan gabungan otobis partikelir kepunjaan bangsa Indonesia dan bangsa lainnja.”[35] Namun, setelah Perang Dunia II pecah, sebagian kendaraan-kendaran itu tidak digunakan sebagai alat angkut lagi, tetapi digunakan oleh pemerintah Belanda untuk “kepentingan siasat dan pertahanannya’” yaitu untuk mengangkut para anggota militer dan alat-alat perang dari satu daerah ke daerah lain. Karena digunakan untuk alat angkut militer, maka ketika Jepang akhirnya menyerbu, banyak kendaraan-kendaraan itu yang hancur karena menjadi sasaran serangan bom Jepang. Selain itu, banyak juga kendaraan-kendaraan itu yang dihancurkan sendiri oleh Belanda untuk tujuan ‘siasat bumi hangus’—agar tidak dapat dimanfaatkan oleh militer penakluk.

Oleh sebab itu, selama periode Jepang angkutan mobil dapat dikatakan tidak lagi berfungsi, yang dengan begitu bendi sebagai alat angkut terutama orang semakin banyak digunakan. Sebuah foto dari periode Jepang menujukkan keramaian terminal bendi di Fort de Kock. Apalagi, para periode ini, “bahwa dizaman pendudukan tentara Djepang, didaerah Sumatera Tengah, didapati sangat sedikit sekali oto pengangkut kepunjaan rakyat. Dan oto-oto jang masih ada, digabungkan oleh militer Djepang dalam suatu gabungan semi djawatan militer Djepang.

Keadan ini tidak jauh berubah setelah Indonesia merdeka pada 1945. Sekalipun telah dibentuk oleh pemerintah sebuah badan yang diberi nama POLL (Perusahaan Oto Lalu Lintas yang kemudian menjelma menjadi Pedjabat Lalu Lintas, yang tidak lama setelah itu berdiri pula PON Ste. (Perusahaan Oto Negara di Sumatera Tengah, Tujuan jawatan itu untuk dibentuk adalah untuk keperluan mengangkut barang-barang keperluan pemerintah. Bersamaan dengan itu dibentuk pula oleh pemerintah “suatu badan pengangkutan jang diberi bernama dengan D.A.M.R.I. (Djawatan Angkutan Motor Republik Indonesia)”.[36] Namun, semua itu tidak banyak membantu. Di tengah kondisi darurat masa perang, “oto-oto bis jang hanja tinggal beberapa buah karena telah banjak jang rusak, baik karena kekurangan bahan-bahannja (onderdelen) maupun akibat pemakaian alat pembakar jang terdiri dari minjak karet”. Lebih lanjut dicatatkan: “Masa antara pendudukan Djepang dengan penjerahan kedaulatan, dalam lapangan lalu lintas di Sumatera Tengah hanya dipakai tjikar (pedati) dan oleh sado (bendi), karena oto-oto jang masih tinggal hanya dipakai untuk keperluan Angkatan Perang dan Pemerintah sadja.”[37]

Pada kurun inilah, Marzuki Sutan Bagindo, mantan Walinagari Kamang, pada 1946 merantau ke Payakumbuh, dengan membawa bendi 3 pasang, berkandang di Labuah Basilang. Bendi-bendi itu dicarikan kusirnya, orang-orang Payakumbuh sendiri yang mau bekerja kepadanya. Rutenya, Pasar Payakumbah - Batang Tabik, Pasar Payakumbuh - Limbukan, Pasar Payakumbuh - Taram, dengan ongkos 20 rupiah. Pada kurun tersebut, banyak sekali juragan bendi, belasan orang. Beberapa nama penguasa bendi pada masa itu, di antaranya, selain Marzuki, ada Amid Kayo, Karumin, dan beberapa keturunan Cina sepanjang Labuah Basilang hingga Batang Agam.

Sistem penggajian bendi, sistem setoran kepada pemilik bendi. Tabiat kusir bendi dikonotasikan buruk, tidur di kandang kuda, tidak jarang memelihara 'anak' jawi', anak-anak yang bertugas membantu si kuris menyabit rumput dan memandikan kuda. Kusirlah yang menggajinya, bukan si pemilik kuda.

Bendi-bendi sempat tidak berorepasi ketika Agresi Militer berlangusung, di mana orang-orang mengungsi. Marzuki dan keluarganya, misalnya, pada 1948-1949, mengungsi ke Sikabu-kabu, yang dengan otomatis usaha bendinya tidak berjalan. Tetapi setelah Agresi Militer usai, usaha bendinya beroperasi seperti semula. Usahanya bahkan terus berkembang. Pada 1950-1953, misalnya, bendi-bendi Marzuki telah bertambah menjadi belasan buah. "Payakumbuh rajo bendi!" kata anak Marzuki, Rusli Marzuki Saria.[38] "Rata-rata transportasi pada kurun itu bendi!". Sepanjang jalan Koto nan Ampek, banyak pandai besi pembuat bendi pada kurun ini. Di samping itu, ada juga yang membeli bendi ke Padang, di daerah Lubuak Aluang terkenal sebagai daerah pembuat bendi yang bermutu tinggi.[39]  

Pertumbuhan bendi setelah 1950an: ‘Persaingan’ dengan oto dan sepur

Setelah revolusi kemerdekaan berakhir pada 1950, moda transportasi tumbuh dengan lebih baik. Kekuarangan-kekurangan semala perang kemerdekaan segera dapat diperbaiki oleh pemerintah, dengan memberikan “surat izin pembelian oto oleh prioriteits-commissi kepada perusahaan-perusahaan oto partikelir”. Dengan kebijakan itu, perlahan-lahan kesibukan di jalan-jalan raya Sumatera Tengah dipulihkan kembali, perusahaan-perusahaan bis mulai berkembang dan mobil-angkutan perlahan-alah bertumbuh. Pada 1950, di Sumatera Tengah terdapat “sebanjak 70 buah perusahaan atau pergabungan oto bis. 70% di antaranya adalah milik bangsa Indonesia dan 25% jang lainnja dimiliki bangsa asing.[40]

Lebih lanjut dilaporkan:

“Menurut tjataan, pada waktu ini di Sumatera Tengah terdapat 32 buah traject jang setiap hari dilalui oleh oto-oto bis untuk mengangkut segala dan semua jang bisa dan mungkin diangkutnja. Perhubungan antara ibu kota Provinsi (Bukittinggi) dengan kota-kota kota dan tempat-tempat lain dari seluruh daerah provinsi ini sudah dapat dilalui kembali. Hanja sewaktu-waktu dimusim hudjan, beberapa buah diantara traject jang banjak itu terpaksa ditutup buat sementara,”[41]

“Sekurangnja 366 oto bis dalam sehari jang melantjar hilir mudik diseluruh djalan raja di Sumatera Barat sadja untuk memperhubungkan satu tempat dengan satu tempat. Setiap sekurangnya ½ djam, Padang dengan Bukittinggi dihubungkan oleh 7a-8 [sic!] buah perusahaan jang menyediakan tidak kurang dari 75 buah oto bis. Bukittinggi dengan Pajakumbuh juga dihubungkan dengan setjara langsung sekali dalam 30 menit oleh 4 a 5 buah gabungan oto.Dua sampai tiga kali sehari ada oto bis jang akan membawa penumpang ke Pakan baru, ke Rengat didaerah Riau dan ke Muaro Tebo didaerah Djambi, belum lagi dihitung yang memperhubungkan kota-kota Padang, Pajakumbuh, Padang Pandjang dan Batu Sangkar dengan kota-kota itu. Dari Bukittinggi ke Pakan Baru dihubungkan oleh 3 buah gabungan oto jang menjediakan tenaganja untuk itu setiap hari.”

Selain bis-bis untuk angkutan manusia, mobil angkutan barang juga sudah tumbuh pesat. “Selain dari oto-oto jang melantjar kesegala pendjuru di Sumatera Tengah jang mempunjai djalan sepandjang 6037 km 880 km djalan Negara, 2188 km djalan Propinsi dan 2968 kmo djalan Kebupaten dan beribu kilometer lagi djalan wilajah, seperti jang disebutkan diatas, berpuluh-puluh lagi oto, pengangkutan barang jang bergerak dari satu tempat kedaerah lain jang menjediakan tenaganja untuk itu setiap hari.”[42]

Namun, sekalipun telah ada bus dan kereta api sebagai angkutan massal yang semakin popuer dan ramai, masyarakat tampaknya tidak serta merta meninggalkan bendi, sekalipun yang terakhir ini jauh kalah kencang. Sampai tahun 1950, bendi masih menjadi salah satu moda transportasi utama yang belum kalah bersaing dengan mobil/bus dan kereta api. Orang-orang masih menggunakan bendi sebagai alat angkutan yang populer sekalipun tidak lagi untuk perjalanan-perjalanan jarak jauh. Bendi digunakan untuk sarana angkutan jarak pendek antara satu kampung dengan kampung lain, dari pekan ke pedan, dan sebagai angkutan dalam kota, karena sejauh ini angkutan pedesaan (angdes) dan angkutan perkotaan (angkot) belum banyak diadakan pemerintah. Di samping ada juga bendi digunakan untuk sarana transportasi antar kota, tetapi itu hanya untuk kota-kota yang berjarak dekat, semisal antara Bukittingi dan Payakumbuh pada kurun ini masih ditemui orang naik bendi.

Sepanjang jalan dalam perjalanan dari Bukittinggi ke Payakumbuh, jalan raya masih diramaikan oleh sarana transportasi modern dan tradisional. Tjahaja, yang membawa anak-anaknya melancong ke Minangkabau pada 1950 menulis: Perjalanan Padang-Payakumbuh pada 1950, "Mobil melantjar menudju ke Utara, sambil mendahului bis2, pedati kerbau dan delman2."[43]. Kadang-kadang orang-orang masih memilih naik bendi untuk perjalanan sejauh Bukittinggi-Payakumbuh atau sebaliknya. Seperti keluarga Tjahaja yang berjalan-jalan untuk berbelanja ke Bukittinggi. Perjalanan dari Payakumbuh mereka menggunakan mobil, tetapi ketika akan pulang ke Payakumbuh, mereka lebih memilih menyewa bendi. "Dengan dua deleman mereka pulang membawa pembelian itu."[44]

Pemandangan di depan sebuah rumah gadang pada 1950: "Berhadap2-an dengan rumah gadang kira2 djarak 10 depa berderet lumbung padi 5 buah, mulai dari jang besar dan inda : ‘sitindjau laut’, lumbung2 biasa, sampai kepada ‘kopuek’, sebuah lumbung jang gemuk pendek. Rupanja lumbung sitindjau laut jang besar dan tinggi itu telah penuh, karena padinja sudah meluap keluar, biarpun orang tengah panen. Selandjutnja kelihatan diudjung halaman sebuah deleman...." (28)[45]

Dalam keluarga Minangkabau, pada 1950, bendi juga masih menjadi bagian berharga. Pada sebuah keluarga di Payakumbuh, misalnya, bendi menjadi salah satu kekayaan yang diwariskan sebagai harta pusaka kaum. Limbak Tjahaja menulis: “Sebagai Pengulu maka si Emran mendapat harta pusaka berupa sawah 1/2 HA, pohon kelapa 50 batang, kuda 1 ekor, deleman sebuah dan kerbau 5 ekor.”

Pada kurun itu juga, bendi yang tradisional masih disandingkan penyebutannya dengan mobil sebagai wakil dari dunia modern, keduanya dikesankan mewakili dunia ‘masa kini’.

"Waktu Ajah masih kanak2, kata Ajah, djalan2 dibuat dan dipelihara oleh anak negeri sendiri, jang dinamai „dinas rodi”. Tiap2 orang lelaki jang dewasa diwadjibkan bekerdja ini 26 hari setahun. Bekerdja itu ber-sama2 dalam rombongan. Untuk tiap2 km bekerdja 12 orang selama seminggu. Jang dikerdjakannja ialah menimbun lobang2 djalan dengan kerikil, membersihkan pematang djalan dan mengerok selokan air. Mereka bekerdja itu dimanduri oleh kepala kampung. Waktu membuat djalan ke Pangkalan dua orang keluarga Andung Ajah meninggal dunia tertimbun batu gunung. Banjak pula orang jang sakit sepulang dari rodi membuat djalan."

„Kita jang sekarang enak2 mengendarai mobil atau deleman lupa akan guna nenek mojang kita, jang telah mengorbankan djiwa raganja. Malah kita malas pula memelihara djalan itu.”[46]  

Namun, kondisi itu tampaknya hanya berlangsung hingga akhir 1950an. Sempat terhenti akibat PRRI, namun setelah pergolakan, bendi tumbuh lagi dengan pesat di Payakumbuh. Tetapi pertumbuhan kembali itu tidak berlansung lama. Pada dekade 1960an hadir lebih banyak minibus (dengan muatan 20an orang) yang melayani rute dari pekan ke pekan (dari pasar ke pasar), rute yang sebelumnya nyaris sepenuhnya dikuasai bendi. Sementara untuk rute jarah jauh antar-kota, semisal dari Payakumbuh ke Bukittingi atau sebaliknya, tersedia kereta api dan sedikit bus serupa ‘Atom’, ‘Pusla’, dan ‘Sinamar’. Dengan hadirnya minibus-minibus itu, bendi perlahan-lahan mulai berkurang, untuk tidak mengatakan lenyap dari jalan raya.

Memasuki tahun 1970an zaman menjadi tidak berpihak lagi kepadanya. Seiring pertumbuhan kota-kota modern dan semakin pesatnya perusahaan otobus, kuda-bendi terdepak lebih jauh lagi: kuda-bendi mengganggu keindahan kota karena kotorannya, dan mungkin juga karena keudikannya yang kontradiktif dengan ‘pembangunan’ yang tengah hingar-bingar dicanangkan. Trayek untuk bendi semakin dipersempit, bahkan telah dimulai sejak awal 1970an.

Aneka Minang pada Februari tahun 1972 melaporkan, bahwa bendi-bendi:  "... sudah lenyap dari jaringan jalan raya diranah Minang. Bendi kian terdesak dengan makin derasnya arus invasi bemo, trum mini dan oplet."

Sementara di kota Payakumbuh yang terkenal sebagai kota "sidongkak" di samping kota gelamai, ruang gerak bendi telah pula diciutkan. Pusat kota dinyatakan sebagai zona DBB atau daerah bebas bendi. Alasannya menurut pihak Balai Kota, demi ketertiban lalu lintas dan keindahan kota. "Tempat2 bendi mangkal yang umumnya kotor dan jorok digeser ke daerah pinggiran, sedangkan pusat kota tabu ditempuh kuda2 yang menarik bendi. Beca2 mulai merebut pasaran sebagai alat mengangkut barang dikotamadya terbungsu tsb. yang selama ini didominis benda dan gerobak sorong," demikian dilaporkan Aneka Minang.  

Fungsinya bukan lagi sebagai alat transportasi manusia, tetapi telah mendapatkan nilai baru sebatas sebagai ‘museum berjalan’ dalam agenda pendukung pariwisata yang dikembangkan pemerintah kota/daerah. Jalan ke arah itu telah dimulai sekira pada awal 1972.

Aneka Minang pada tahun itu melaporkan: “Sejalan dengan perkembangan Sumbar sebagai daerah pariwisata, ada yang me-nyebut2 bendi untuk turis. Diperkirakan para turis akan senang ber-sight seeing naik bendi dari pada dengan taxi. Tentu konstruksi bendi dan kelengkapannya disesuaikan menurut selera pelancong. Kuda2 berikut para kusirnya tentu juga harus dari yang terpilih.[47]

"Tidak lama lagi kemungkinan kita dapat meliat bendi2 turis dengan Mat Kusir berpakaian seragam pegang cambuk unik ditangan, berolak-olai disepanjang pinggiran danau Singkarak maupun di Lembah Harau membawa manusia2 dari belahan dunia sana.”[48]

__________________________________________________________
[1] Gusti Asnan, Kamus Sejarah Minangkabau (Padang: Pusat Pengkajian Islam Minangkabau, 2003), h. 155
[2] Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 12
[3] Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (Jogjakarta: Ombak, 2008) h.55-56
[4] Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera..., h.297
[5] Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera..., h.298
[6] Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera..., h.302

[7] Di Minangkabau, hukuman model ini dikenal sebagai andam atau handam, hukuman menjadi budak di istana raja. Si terhukum ini adalah dia yang melarikan diri dari hukuman yang ditimpakan kaumnya dengan minta perlindungan kepada raja atau kerajaan Pagaruyung. Dengan melarikan diri dari hukuman, dengan mencari perlindungan kepada raja, dia secara sah telah mengakuidirinya sebagai budak raja,menyerah sepenuhnya pada kekuasaan tuannya, si pelindungnya. Ketika seorang terhukum telah memilih jalan serupa itu, orang-orang tidak akan lagi berani atau berhak untuk menghukumnya lagi, karena telah di bawah otoritas raja, sebab ketika hukum ini diterapkan raja Minangkabau masih dihormati dengan segenap tuah yang melekat padanya di mana masyarakat. Tentang ini lihat: Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008); Datoek Toeah, Tambo Minangkabau (Bukitittinggi: Bina Aksara, tt.), h. 298-321, mengenai hukum dan varian hukuman prakolonial ini selengkapnya lihat: Deddy Arsya, “Penjara di Padang (1824-1942)” Tesis Master. (Ilmu Sejarah, Pascasarjana Unand Padang, 2012), khusus bab 2.

[8] Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera..., h.302

[9] Dalam masyarakat Minangkabau, terminologi ‘kudo sawah’ juga dipakai sebagai sesuatu yang bermakna lemah, atau tidak dapat diandalkan kekuatannya. Kuda kategori ini terdapat atau dipeternakkan di beberapa daerah peternakan kuda seperti: Koto nan Gadang, Koto nan Ampek, Simalanggang, Guguak, Lubuak Batingkok. Lihat: Deddy Arsya, “Kuda Minangkabau Mendongkak Zaman”, Padang Ekspres, 31 Juli 2016

[10] Kuda ini termasuk kuda yang kuat berperang. Kuda jenis ini dikembangkan di Aiertabit, Limboekan, Moengo dan Andalas, dan Sungai Naning. Jika diperhatikan dari perspektif topografi, beberapa daerah yang disebutkan ini memang cocok untuk peternakan kuda. Lembah-lembah yang didominsi padang rumput dengan variasi bukit-bukit kecil mewarnai topografi beberapa di antaranya. Di antara daerah-daerah sentra kuda yang telah disebutkan ini, Tanjung Aro adalah di antara daerah yang menghasilkan kuda yang paling terkenal. Kuda dari Tanjung Aro dianggap sama terkenalnya dengan kuda dari Sikabu-kabu. Kuda jenis ini adalah hasil persilangan kuda setempat dengan kuda dari tanah Batak (mungkin nenek-moyangnya adalah kuda hasil rampasan perang para Padri dalam ekspedisi ke daratan tinggi Batak pada dua-tiga dasawarsa awal abad ke-19). Kuda yang kuat dan tinggi, sehingga tidak jarang dibawa masuk ke gelanggang pacu. Lihat: G. De Wall, “Paarden-Fokkerij in de Padangsche Bovenlanden”. Sumber Belanda lain yang berbicara mengenai perkembang-biakkan kuda di Sumatra's Westkust pada periode Hindia Belanda adalah sebuah tulisan berjudul "Van Pajakoembuh en Paarden" (“Payakumbuh dan Kuda”) dalam Weekblad voor Indie edisi 18 Juli 1906. Artikel ini di antaranya melaporkan mengenai perkembangan peternakan kuda di Payakumbuh pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Menurut laporan majalah mingguan tersebut, pemerintah Belanda memiliki sebuah kawasan peternakan kuda yang cukup luas di Payakumbuh, tepatnya di daerah Bukitbungsu. Dalam literatur Belanda itu, kawasan peternakan kuda itu disebut sebagai "padang-bakoeda"—sebuah istilah Melayu. Kuda-kuda dipelihara dengan cara dilepaskan di padang pengembalaan (padang rumput) terbuka dengan digembalakan oleh beberapa orang pribumi yang digaji pemerintah. Dalam kawasan peternakan itu [sekaligus] terdapat klinik hewan tempat pengobatan bagi kuda-kuda yang terserang penyakit. Lihat: "Van Pajakoembuh en Paarden”, Weekblad voor Indie edisi 18 Juli 1906; Deddy Arsya, “Kuda Minangkabau Mendongkak Zaman”, Padang Ekspres, 31 Juli 2016

[11] G. De Wall, “Paarden-Fokkerij in de Padangsche Bovenlanden”
[12] Limbak Tjahaja, Minangkabau Tanah Adat (Jakarta, Bandung, Amsterdam: Ganaco NV., 1955), h. 24
[13] Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera..., h. 303

[14] Apa sebab tidak ada terbangun jalan raya yang lebih representatif? Kuat dugaan, tidak ada otoritas tunggal di Minangkabau menyebabkan sulit untuk menggerakkan orang-orang Minangkabau untuk ‘turun’ membangun jalan. Kecuali untuk pengerjaan jalan dalam kampung, ‘anak nagari’ akan sulit diarak untuk ‘bergotong-royong’ bekeja membangun suatu jalan raya yang sifatnya ‘lintas nagari’. Untuk membuat suatu persekutuan antar nagari membutuhkan upaya keras lagi payah karena kerumitan sistem adat nagari yang masing-masing kadang berbeda satu sama lain. Belum lagi, indoktrinasi sistem adat membentuk nagari-nagari merdeka yang satu sama lainnya memilik daulat sendiri-sendiri. “Tegak di kaum membela kaum, tegak di kampung membela kampung, tegak di nagari membela nagari,” begitu bunyi pepatah adat, yang menunjukkan bagaimana nagari menjadi ruang-lingkup pengabdian tertinggi, tidak ada ‘partisipasi’ melebihi ruang lingkup itu. Untuk itu, tidaklah terlalu berlebihan untuk mengatakan: nyaris tidak ada ‘kerjasama’ lintas nagari. Otoritas tunggal yang disinyalir pernah ada, seperti kerajaan Pagaruyung, telah lama ambruk, dan pewaris-pewarisnya tidak begitu punya kuku untuk memaksakan kehendak untuk sebuah unifikasi dalam hal apapun juga, termasuk pembangunan ‘jalan lintas’.

[15] Gusti Asnan, “Transportation on the west coast of Sumatra in the nineteenth century” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, edisi 158, tahun 2002, h. 727-741

[16] Syahnir Aboe Nain (transliterator), Naskah Tuanku Imam Bonjol (Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau, 2005), khususnya bagian Sutan Chaniago. Lihat juga: Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri..., h. 296; M. D. Mansoer, Sedjarah Minangkabau, (Djakarta: Bhratara, 1970), h. 381.

[17] Gusti Asnan, “Transportation on the west coast of Sumatra..., h. 733-4

[18] Gusti Asnan, “Transportation on the west coast of Sumatra..., h. 734
[19] Gusti Asnan, “Transportation on the west coast of Sumatra..., h. 733
[20] Gusti Asnan, “Transportation on the west coast of Sumatra..., h. 735
[21] Mohammad Hatta, Memoir (Jakarta: Tinta Mas, 1982), h. 18.

[22] Bendi atau delman atau dos atau dokar, atau kareta-kuda, awalnya juga adalah moda transportasi untuk kalangan terbatas. Delman atau bendi merupakan ‘pakaian’ bagi penghulu dan saudagar dalam masyarakat Minangkabau. “Sebagai Pengulu maka si Emran mendapat harta pusaka berupa sawah 1/2 HA, pohon kelapa 50 batang, kuda 1 ekor, deleman sebuah dan kerbau 5 ekor,” tulis Limbak Tjahaja dalam Minangkabau Tanah Adat. “Pada suatu hari pasar, penghulu itu pulang dari Bukittinggi kenagarinja dengan menumpang sebuah delman kepunjaanja sendiri, jang dikendalikan oleh kusirnja," demikian kata Muhammad Radjab dalam Sistem Kekerabatan di Minangkabau. Kedua keterangan itu menunjukkan betapa penting bendi bagi kalangan elite Minangkabau.

[23] Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau..., h. 155
[24] M. Vvn. B. De Jong, Stations en Spoorbruggen op Sumatra 1876-1941...

[25] Mengenai yang terakhir ini, Muhammad Radjab menggambarkan dengan hidup pengalamannya menaiki bendi melewati rute yang cukup ekstrim tersebut. Lihat M. Radjab, Outobiografi Seoarang Anak Minangkabau.

[26] Gusti Asnan, “Transportation on the west coast of Sumatra in the nineteenth century” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, edisi 158, tahun 2002, h.. 729; Colombijn, Patches of Padang: The History of an Indonesian Town in the Twentieth Century and the Use of Urban Space. (Leiden: CNWS, 1994); F. Colombijn, “Perkembangan Jaringan Transportasi di Sumatera Barat dari Masa Prakolonial sampai Sekarang”, dalam Lindblad (editor), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 464-482

[27] Parada Harahap, Dari Pantai ke Pantai, Jilid I, (Weltevraden: Bintang Hindia, 1926) h. 106
[28] Parada Harahap, Dari Pantai ke Pantai, Jilid I, (Weltevraden: Bintang Hindia, 1926) h. 106
[29] R. A. van Sandick, "Het laatsche hoofdstruk van de Ombilin-guestie", De Indische Gids, Amsterdam, 14 Jrg (1892)

[30] Hingga awal abad ke-20, jalur kereta api telah menjalar ke berbagai kota-kota penting di Sumatera Barat. Keberadaan jalur kereta api ini semakin memperlancar hubungan ke pusat kota kolonial di Padang dan ke kota-kota lain di pedalaman Minangkabau, terutama ke Sawahlunto sebagai kota penghasil batubara. Kota-kota di pedalaman, menurut catatan Colombijn, semakin terbuka dari isiloasi sebab jalan trem meluas ke daerah-daerah yang terpencil sekalipun. Lihat: F Colombijn, “Perkembangan Jaringan Transportasi di Sumatera Barat dari Masa Parkolonial sampai Sekarang”, dalam J. Thomas Lindbald (editor) Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 368; Rusli Amran, Sumatera Barat Plakat Panjang. (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), h.76

[31] Parada Harahap, Dari Pantai ke Pantai, Jilid I, (Weltevraden: Bintang Hindia, 1926) h. 107
[32] Wawancara, Rusli Marzuki Saria (78 tahun), Padang, 15 Agustus 2016
[33] Parada Harahap, Dari Pantai ke Pantai, Jilid I, (Weltevraden: Bintang Hindia, 1926) h. 109
[34] Parada Harahap, Dari Pantai ke Pantai, Jilid I, (Weltevraden: Bintang Hindia, 1926) h. 93
[35] Djawatan Penerangan, Sumatera Tengah. 1954, h. 712
[36] Djawatan Penerangan, Sumatera Tengah. 1954. h. 713.
[37] Djawatan Penerangan, Sumatera Tengah. 1954, h. 713
[38] Wawancara, Rusli Marzuki Saria (78 tahun), Padang, 15 Agustus 2016
[39] Wawancara, Rusli Marzuki Saria (78 tahun), Padang, 15 Agustus 2016
[40] Djawatan Penerangan, Sumatera Tengah. 1954. h. 714
[41] h. 714
[42] Djawatan Penerangan, Sumatera Tengah. 1954. h. 714
[43] Limbak Tjahaja, Minangkabau Tanah Adat..., h. 8
[44] Limbak Tjahaja, Minangkabau Tanah Adat..., h. 26
[45] Limbak Tjahaja, Minangkabau Tanah Adat..., h. 28
[46] Limbak Tjahaja, Minangkabau Tanah Adat..., h. 66
[47] Aneka Minang, edisi Februari 1972.
[48] Aneka Minang, edisi Februari 1972.

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini