Doakan kami lulus, Ibu!

oleh  Deddy Arsya

Doakan kami lulus, Ibu!

Hidup seperti rangkaian ujian yang tak sudah-sudah. Doakan kami mampu menghadapi gelombang berat kehidupan ini, Ibu. Ke mana kami menghadap kami akan diuji.

Kami adalah di antaranya. Kami masuki lubang jarum yang kecil itu ibu. Kami adalah kepala benang yang berserpihan ratusan ribu banyaknya menuju satu lubang jarum.

Kita tidak di tahun 1960, atau 1950, atau lebih tua dari itu, di masa pergerakan politik menentang kolonial merebak di mana-mana. Revolusi telah selesai, revolusi tak ada lagi, Ibu. Prioritas kehidupan kita hanya yang remeh-temeh saja, semisal pekerjaan tetap, tamat sekolah dengan ijazah yang laku dijual, mendapatkan istri atau suami yang baik, berkeluarga, dan bahagia. Remeh-temeh memang, tapi hal yang remeh-temeh itulah dunia kami sekarang, Ibu. Segala yang besar-besar telah selesai, telah rampung diurai.

Aku diberi buklet oleh orang-orang di gerbang sebuah perguruan tinggi. Aku bacakan untukmu, “Sejalan dengan perkembangan zaman dalam era globalisasi, maka perlu dipersiapkan tenaga yang berkualitas untuk dapat bersaing di pasar bebas.” Baiklah, kami akan bersaing, akan saling mengalahkan. Ujian demi ujian yang tak pernah berakhir.

Aku suka permainan kanak-kanak, gairah lajang kuda zanggi (seperti dalam sajak Lorca yang terkenal itu, ‘Andalusia’), dan jiwa yang bebas merdeka. Kecendrungan seperti itu harus tetap ada, harus ada. Bersebab dunia ini, kata Jassin, bukan surga, tetapi tidak pula neraka. Tapi sekolah, tapi perguruan tinggi melenyapkan gairah itu, Ibu. Aku harus ujian, Ibu, harus. Seperti katamu, masa depan hanya ada di gerbang pendidikan yang hanya bisa dimasuki dengan ujian demi ujian.

Tapi pendidikan yang seperti apa, Ibu?

Para pejabat membikin sekolah, para guru besar membikin sekolah, para saudagar kaya raya membikin sekolah. Membikin perangkap untuk kami, Ibu, dengan slogan-slogan yang memuakkan. Ibu, perguran tinggi adalah agama yang bertuhan lemah. Kelak akan bekerja di sini akan bekerja di sana membuat kami pikun dan lupa. Dan kami masuk perangkap itu juga akhirnya, Ibu.

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini