Dari Manusia-Manusia Pra-Sejarah hingga Robot-Robot Pasar Global
(Menafsir Proses Kreatif Odong-odong Ford de Kock Deddy Arsya)[1]
Oleh Zelfeni Wimra[2]
Pembacaan saya terhadap Odong-odong Fort de Kock (OoFdK) masuk melalui pintu sejarah –sebagaimana juga menjadi konten keilmuan Deddy Arsya- dikuatkan dengan pendekatan biografis pengarangnya. Kedekatan personal saya dengan ide-ide pengarang lebih dulu menguat ketimbang keakraban saya dengan tubuh-tubuh puisi di dalam buku ini. Maka tulisan pengantar ini akan lebih banyak menyinggung sisi ekstrinsik, yakni sejumlah kecenderungan sang pengarang dalam berpikir dan mengolah ide. Saya berharap pola ini akan berhasil membantu pembaca lain mendekati kehendak pesan di dalam OoFdK.
Pra-Odong-odong Fort de Kock
Siapa Deddy Arsya (selanjutnya disingkat DA)? Saya ingin memutar hikayat tentangnya. Ia lahir 15 Desember 1987 di Bayang, Pesisir Selatan. Inilah kampung yang ditandai dengan kabar tentang sejumlah orang shalih dan keramat bertempat tinggal. Diimbuh pula dengan sangkaan bahwa 1987 adalah tahun yang “gila”. Bayi yang lahir di tahun ini diramalkan kelak akan hidup dalam “kegilaan” pula. “Kegilaan” yang mengantar proses perayaan hidup menuju pemaknaan-pemaknaan baru tentang gerak dan kehendak kebudayaan.
Ini mitos! Ini mistik! Itu magis! Ya. Menilik suasana kultural dan situasi sosial di sekitar tahun kelahiran DA benar-benar membuat pikiran saya tidak bisa menghidar dari kenyatan bahwa pertumbuhan cara berpikir seseorang melewati masa kecil di perkampungan dibumbui oleh pengaruh mitos atau mistik. Pada konteks ini, mengapresiasi mitos dan mistik bukanlah sebuah kesalahan. Mitos dan mistik pada perayaan hidup DA selanjutnya justru berkembang melalui karya menjadi khazanah puitik.
DA menyelesaikan Sekolah Dasar di Bayang. Sepanjang masih balita sampai tamat SD, ia sering ditinggalkan dengan neneknya sebab orangtuanya pergi mengajar. Ibu DA mengajar di SD yang terletak kurang lebih dua kilometer. Satu kilometer ibu DA harus berjalan kaki. Satu kilometer lagi kadang bisa ia tempuh dengan naik angkutan umum. Ayah DA mengajar olah raga, juga di SD.
Pada pase inilah, ruang dengar DA sangat dekat dengan cerita-cerita sang nenek. Mulai dari dongeng sampai ke cerita perang saudara. Ada hantu hitam, negeri berpenyamun, dan tentara pelajar yang kerjanya mensubsidi senjata kepada tentara pemberontak. Tentang para pemasok peluru. Bahkan tentang lelaki yang dibunuh secara sadis (kelamin lelaki itu dipotong).
Aktivitas imajinasi DA agaknya mulai tumbuh dalam suasana keakraban seorang nenek dan cucu ini. Cerita-cerita itu, secara umum bisa diduga berkisar tentang tanggungjawab orang tua, kakek-nenek dalam kondisi keamanan yang dicabik-cabik perang. Perang melawan kolonial dan perang saudara. Kesadaran bahwa perang sedang terjadi terus hidup dan berlanjut ke dalam pemaknaan DA berikutnya. Tentunya bukan lagi perihal perang melawan kolonial, melainkan perang melawan postkolonial.
Masa-masa sekolah di tingkat SLTP dan SLTA ia pindah ke Padang. Kebiasaan ini nyaris dilalui seluruh anak-anak remaja awal di ranah kultural Minangkabau. Praktik merantau sudah mulai diajarkan dalam proses sekolah ke luar nagari, meninggalkan rumah ibu. Pada fase ini, DA mulai berjarak dengan dongeng-dongeng nenek. DA bertemu hiruk-sibuk kehidupan kota (Padang). Kepada DA seolah dibukakan ruang imajinasi baru tentang kota dan keramaian.
Energi imajinasi yang kuat tampaknya tumbuh dengan sehat dalam perkembangan nalar puitik DA. Buktinya, semasa SMP ia sering didaulat sahabat-sahabatnya untuk membuat surat cinta. Tetapi pengolahan surat cinta yang dipahami DA diramu dengan diksi-diksi “ajaib” semisal racun bawang, hawa wereng, mentimun, beras pirang, hama, dan ekor tikus. Diksi ini, pada perkembangan selanjutnya berebutan muncul dalam karya prosa DA. Baca misalnya cerpen DA berjudul Rahim Sebatang Pohon, Ular Berkepala Ganda, Si Ampa, Orang Hitam atau Bayi Dalam Guci.
Nalar prosa DA seperti seorang yang sedang membuat surat kepada seseorang lain yang sangat dekat dengannya di masa yang jauh, entah di mana. Seseorang itu ia bayangkan bertemu lagi dengannya di suatu tempat yang juga entah di mana. Kadang seseorang itu tak pernah lagi bertemu dengannya. Ada tabiat menghilangkan asal-muasal dan keberadaan tokoh di sini. Amati kalimat DA berikut: “Setiap kali lewat depan rumahmu, saya selalu membayangkanmu bertengger pada cabang sebatang pohon jambu yang rimbun di halamannya….(Rumah-Rumah yang Tersesat, Cerpen DA 2006)” selanjutnya, jika sedang tidak mood membuat surat, DA lebih senang memanggil ingatan emosinya tentang dongeng. Maka ia pun mendongeng di beberapa cerpennya: Perempuan itu seorang saja berlari. Terengah-engah ia masuk hutan. Ia menembus dinding demi dinding belukar berduri itu sendirian. Bajunya sobek di sana-sini. Perutnya yang bengkak memberati; ia bagai menanggung beban puluhan kilo. (Rahim Sebatang Pohon, Cerpen DA 2007).
Apabila didalami dari proses terbentuknya pesan dalam karya DA, baik prosa maupun puisi, terbit kesan bahwa DA sedang disesaki perseteruan ide yang berceceran dalam sejarah. Baik sejarah kehidupan secara umum maupun sejarah hidupnya sendiri. Asumsi ini lebih terang ketika memasuki satu persatu puisi dalam Odong-odong Fort de Kock, buku pusi DA yang pertama, diterbitkan Kabarita, Mei 2013.
Pasca-Odong-odong Fort de Kock
Setelah tidak jemu menuangkan ide melalui prosa, dengan memilih menerbitkan OoFdK menandakan DA ingin memusatkan kerja estetiknya melalui puisi. Buku puisi OoFdK adalah salah satu prasati yang menandai keterpusatan DA tersebut. Dari sudut pandang saya, selaku orang yang secara biografis-kreatif pernah dekat, terutama selama DA berkuliah di IAIN Imam Bonjol dan berkegiatan di UKM teater Imambonjol Padang, peristiwa-peristiwa di ranah mistik dan mitos yang dilakoni manusia-manusia prasejarah itu telah berganti wujud menjadi robot-robot pasar global.
OoFdK menanggung benang merah yang tersambung-kait ke situasi hiruk di tengah “pasar” global. Dari Siskus dari Insulinde, Perdebatan di Kedai Kopi, Samsinar Pulang dari Pasar, Rosnida Mencari Laki, Kuda Bawah Tanah hingga Kami Membawa Seledri ke Pekanbaru merupakan di antara puisi OoFdK berbenang merah “pasar” yang mudah diingat diantara 63 puisi di dalamnya.
Kira-kira sepuluh tahun belakangan, jagat kritik sastra pernah disemaraki dengan teriakan: sastra urban, sastra selakangan, sastra lokal, sastra religi, sastra akrobatik, dan beberapa pekikan lain yang melengking begitu saja. Bersipongang, lalu senyap. DA seolah paham dengan teriakan-teriakan ini sehingga memilih menunaikan gaya puitiknya sendiri sehingga tidak bisa dikelompokkan dengan mudah. Singkat kata, DA di dalam OoFdK telah menemukan gayanya.
EshaTegar Putra menulis Transaksional Puitik (Buku Puisi ‘Odong-odong Fort de Kock’ Karya Deddy Arsya) di blog pribadinya, mengurai tentang geopuisi dan perpindahan corak pengolahan pesan dalam 63 judul puisi DA di buku ini. Saya semakin percaya, DA dalam pembacaan sementara penikmat puisinya telah merencanakan sejumlah perpindahan, baik tipografi maupun pendekatan yang dipakai dalam meramu gasasan puitiknya. Simak bait ini: aku orang darat, dan akan selamanya begitu/ –mungkin orang bukit yang lelah mendaki (Orang Darat: Fais Mohamad, hal.32. berbeda suasanya dengan “…tungguilah ini jalan siang dan malam. Akan lewat tuan-/ tuan dari painan, ke muara kembali membawa kalian/ pedati tua dan saisnya buta. (Salido Emas Suasa, hal. 29)
DA sendiri, dalam catatan proses kreatifnya, dengan terang menyatakan, bahwa pasar adalah terma yang sering “mengusik”nya. DA mengutip Nietsche yang berteriak dalam Zarathustra: “Pasar, pasar, Jauhilah pasar, kembalilah ke kesunyianmu!” DA ingin membantah, bagaimana mungkin menjauhi pasar? Pasar di dunia ketiga adalah tempat di mana ironi bertebaran. Tidakkah sajak hidup dari ironi ke ironi, dari paradoks ke paradoks? Di pasar pula, kita menemukan kebencian, dan juga cinta, bukan? Tempat para pendusta dan orang jujur bertemu, tulisnya.
DA seolah mengidam keinginan membicarakan manusia yang merasa dirinya dipenuhi makna, padahal tak ada makna, sebagaimana pernah diuraikan Jean Burdillard. Demikian pula, kutipan DA terhadap sentimen Pramoedya Ananta Toer: di antara makan dan berak itu hidup manusia berlangsung. Jika manusia bosan, mereka bunuh diri.
Akan tetapi pada bagian akhir catatan proses kreatifnya, DA menulis: “Dan sekarang, saya tinggal di kaki gunung yang dingin. Kesunyian yang membara, kegembiraan yang mencekik. Rumah berkabut, dan hutan seperti menjalar ke jendela.” Inilah puisi yang menjelaskan proses di suasana terakhir terbentuknya pesan dalam ke 63 puisi di buku OoFdK. Kehendak puisi-puisi itu adalah menginformasikan migrasi manusia-manusia. Bisa jadi manusia-manusia itu berasal dari masa pra-sejarah, bisa jadi juga telah menjelma robot-robot yang berkeliaran di pasar-pasar global. Robot-robot itu sesungguhnya juga manusia yang telah digerakkan oleh mesin-mesin industri. Kesan saya, OoFdK menginginkan, di tengah dominasi mesin-mesin industri, mansuia-manusia itu berkesempatan pula digerakkan oleh puisi. Puisi yang sejuk, yang mampu merasuk dan menjalari rumah-rumah manusia.[]
Padang, 18 Nopember 2013
______________________
[1] Disampaikan pada Pekan Kritik Sastra Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (21-22 Nopember 2013)
[2] Penulis Buku Puisi Air Tulang Ibu, Pusakata Publishing, 2013.



Comments
Post a Comment