Dari Atas Odong-odong Kepenyairan
Oleh Deddy Arsya
Menjelang akhir tahun 1963. Agam Wispi, penyair Lekra itu, berujar: “semakin waktu kita semakin tambah sukar menulis sajak”.
Ketika itu, PKI memang sedang berada di atas angin. Masyumi dihancurkan. PSI terjungkang. Soekarno semakin bisa dipegang. Nyaris tak ada lawan politik yang lebih kuat dari angkatan bersenjata yang ternyata juga tidak satu suara.
Di tengah masa-masa jaya revolusi sosialis itu, sajak-sajak penyair Indonesia (terutama yang tergabung dalam Lekra) tidak bisa lain harus mengikuti arus. Tak ada sajak dengan suara berbeda boleh mendapat tempat. Nyaris yang terdengar hanya sajak-sajak yang berbicara tentang Ketua Aidit dengan mata berkaca-kaca penuh takjub, ode untuk Mao yang perkasa menjungkangkan daulat setan-setan kota, puji-pujian terhadap Rusia dengan kota Stalinraad yang terkenal itu, atau kongres-kongres partai yang membicarakan rakyat yang lapar dengan berapi-api. Bacalah, misalnya, Partai dalam Puisi, sebuah kumpulan sajak yang sengaja diterbitkan dalam menyambut HUT Partai Komunis setahun sebelumnya, 1962.
Tak ada hal yang remeh-temeh seperti cinta atau asmaraloka seperti yang ditulis penyair zaman kita, yang ada hanya api ideologi yang seperti hendak membumi hanguskan seluruh dunia.
Barangkali di sinilah letak simpulnya kenapa kemudian Agam Wispi berujar dengan datar saja, seperti putus asa pada sajak-sajaknya sendiri. “Kadang,” katanya, seperti dikutip Goenawan Mohamad dalam sebuah esai, “kita harus mencari-cari bentuk baru untuk menghindarkan ‘pemamah-biakan’, dan sementara itu pula kita harus memperdalam mutu isi secara ideologis.”
Huh, ‘mutu isi secara ideologis’, itulah yang tampaknya menjadi karakteristik, titik klimaks yang hendak dicapai, dan menjadi ukuran keberhasilan kepenyairan penyair-penyair komunis dalam sajak-sajak mereka. Semakin keras sebuah sajak mengutuk kesewenang-wenangan tuan tanah, misalnya, semakin berhasil sajak itu dinilai. Semakin tajam kata-kata yang dipakai dalam mengutuk dunia lama, dan semakin berbusa-busa diksi yang dipilih untuk menggambarkan heroisme kamerad-kamerad komunis dalam Revolusi Bolsevik mencipta dunia baru, semakin berharga sajak itu dianggap. Bentuk-bentuk baru, jika pun diinginkan, ia haruslah segaris ‘secara ideologis. Setiap elit komunis memang dimotivasi untuk harus menulis sajak, sebab Ketua Mao adalah juga penyair. Dalam kondisi serupa itu: Puisi dipopulerkan, tetapi di saat yang sama juga dipepat daya jelajah eksploratifnya terus-menerus. Carilah yang baru, tapi tidak di luar garis ideologis.
Di tengah suasana perpuisian seperti itu, tidak usah heran jika ada penyair yang merasa, seperti Agam Wispi (penyair dalam lingkaran partai komunis sendiri), kalau pilihan tema dalam menulis sajak menjadi sedikit, ruang ekplorasi bertambah sempit, dan tak ada lagi yang mesti ditulis selain yang sudah pernah ditulis yang hendak ditulis lagi. Tidak aneh jika kemudian pemamah-biakan dengan telanjang dimaafkan. Demi partai, repetisi, epigonistis, dan keseragaman-ucap dipermisifkan. Tidak heran pula akibatnya beberapa penyair menulis beberapa topik yang sama, dengan bahasa ungkap yang hampir seragam. Kita hanya mengulang-ulang mengunyah apa yang telah kita keluarkan. Nyaris tak berguna rumput segar atau sagu yang lebih baru. Di sinilah sekali lagi letak kontradiksinya realisme sosialis: hendak menciptakan sastra baru (sebagaimana komunis sosialis mencita-citakan masyarakat baru) tapi dengan garis kesastraan yang menghampang jalan ke arah ekplorasi kreatif. Bisakah kreatifitas lahir dari kepala yang dibentengi seperangkat aturan? Akibatnya pula, perkembangan kepenyairan seperti seekor kutu busuk yang tengah berjalan di tepi kain sarung, sejauh apa pun dan sekencang apa pun ia berlari, tetap saja ia berada di garis kain serung yang itu-itu juga. Atau, dalam analogi lain, seorang penyair seperti berada di atas odong-odong, yang bergerak naik-turun, kencang atau pelan, tapi tak beranjak sejengkal pun dari tempat dia diparkir si tukang odong-odong. Kita yang di atasnya seperti terus berjalan-maju, padahal sebetulnya diam-terpaku.
Kutu busuk yang berjalan di tepi kain sarung, penyair yang naik odong-odong. Kondisi itu mulai terasa lagi di dunia kita sekarang. Kalimat-kalimat dengan substansi yang sama yang dikeluarkan Agam Wispi dulu mungkin bisa kita ajukan lagi kini: Sajak-sajak apa lagi yang harus ditulis?
Sajak-sajak telah tergantikan oleh hiruk-pikuk perkembangan media-media elektronik maupun media cetak. Wilayah penyair semakin sempit, semakin terdesak oleh televisi. Apa yang kata Afrizal Malna (2011) disebut sebagai “epidemi pendeknya usia makna” terasa mendapat pembenarannya. Sajak-sajak ditulis untuk memperlama kekinian, tapi kekinian itu bisa menjadi masa lalu hanya dengan menekan tombol pada remote control, maka chanel-chanel dari kekinian kita akan berubah sesuai apa yang kita inginkan dengan begitu saja. Peristiwa hari ini hanya berusia tak lebih dari sehari di dalam koran-koran, di terbitan hari berikutnya peristiwa itu sama sekali telah menjadi masa lalu, dan tak ada koran-koran yang menginginkan dirinya disebut pewarta yang memberitakan peristiwa basi. Begitu pun dalam sajak, sajak-sajak tampil setiap minggu, dan usianya akan tak lebih dari kedatangan sajak lain dari penyair lain pada minggu berikutnya. Tak ada yang bertahan lama dari kekinian kita. Afrizal menyebutnya sebagai “sesuatu yang terus berlalu”.
Apalagi yang semestinya ditulis oleh penyair? Apalagi yang harus ditulis sebagai sajak?
Padang, 2011-10-11
(Padangekspres, 27 April 2012)



Comments
Post a Comment