Cerita Tuan Katebo

Oleh Deddy Arsya 

Koran kuning daerah, ketika lotre masih dihalalkan pemerintah kota, memberitakan tentang terbunuhnya seorang toke emas di Padangpanjang. Tubuh toke itu, yang entah laki-laki entah perempuan, yang entah sudah tua atau masih muda, itulah tololnya penulis berita yang hanya hidup dari sogokan-sogokan pejabat daerah, dipotong-potong menjadi 17 kerat. Masing-masing potongan dibuang ke berbagai lembah di kampung-kampung sekitar kota. 

Lembah di kampung kami di antaranya mendapat jatah sekerat tangan. ‘Potongan tangan itu seperti kekuasaan yang lepas dari pemiliknya’, kata berita koran itu, tanpa menjelaskan apa maksud kalimatnya lebih lanjut. Beberapa pembaca menafsirkan bahwa dengan kematian toke emas terbesar di kota itu, kuasa pialang emas otomatis akan berpindah ke toke lain. ‘Ini persaingan bisnis, semata persaingan bisnis’, kata seorang pembaca di kedai kopi. 

Penemuan potongan tangan itu jelas menggemparkan seisi kampung. Bukankah selama ini tidak ada kejadian-kejadian yang begitu mengerikan terjadi di kampung kami? 

Tapi pertanyaan yang sebentar ini keliru. Dalam pohon riwayat kampung kami, tidak hanya sekerat tangan, namun ada banyak kepala yang dilemparkan ke lembah itu—lembah satu-satunya dan paling terkenal di sini karena keangkerannya. Dulu, dulu sekali, orang-orang padri pimpinan seorang tuanku yang putus asa karena tidak memiliki anak-keturunan sekalipun telah memperistri hampir 30 orang perempuan, memobilisasi seribu pemuda membakar pasar, mengobrak-abrik gelanggang adu jago, dan memaklumkan perang kepada datuk-datuk yang menganggap keturunan adalah segala-galanya, yang mencemooh orang-orang mandul tak beranak sebagai ‘pohon mati pucuk’ di kedai-kedai sambil tertawa terkikih-kikih (seperti kuda yang hanyut dibawa arus sungai) sembari menenggak tuak dan mengisap candu. 

Lalu perang berlangsung berpuluh-puluh tahun. Tuanku dan para pengikutnya, yang rata-rata adalah pemuda-pemuda yang juga cemas akan mandul, memenggal kepala datuk-datuk yang sebenarnya juga telah mandul karena pengaruh candu. Lalu mereka dikabarkan memenggal kepala sendiri dalam sebuah pesta pertobatan yang penulis-penulis sejarah dari Eropa sibuk mencari tinggalan-tinggalan historisnya. Konon, di lembah itulah pula sumpah sakti untuk mengakhiri perang dilangsungkan antara kedua belah pihak. Tetapi tentu tidak akan ada yang menemukan bukti apa pun di situ. Betapa konyolnya padri-padri itu jika kabar itu benar adanya, dan betapa konyol pula para peneliti itu jika mereka percaya cerita orang-orang kampung kami yang terkenal pendusta.

***

Tuan Katebo kini mungkin sedang mencibirkan kepalanya ke lembah itu. Rumah Tuan Katebo berada persis di tubirnya. Mengumpat-ngumpat dalam hati bahwa jam 11 siang istrinya belum juga pulang dari pasar sementara di bawah tudung saji tidak satupun yang bisa dimakannya untuk menawar perut yang berdentum-dentum seperti bunyi meriam padri. Dia sedang hendak memulai menulis sebuah novel tentang sejarah keluarga seorang padri. Padri mandul itu, yang konon tidak punya pohon riwayat akhirnya muncul dalam sebuah artikel yang ditulis seorang wartawan koran daerah pada tahun 1928, ketika pemberontakan komunis baru saja selesai dan berhasil dipadamkan pemerintah kolonial. 

Wartawan itu menulis riwayat seorang tokoh padri di tengah zaman yang tidak ingin sama sekali pada kemunculan kembali padri. “Setelah berbagai gerakan dengan mudah dihancurkan pihak penguasa, kita membutuhkan gerakan baru yang lebih keras. Jika tuan-tuan tidak senang dengan keadaan sekarang, maka jalan satu-satunya: Mari sama-sama jadi padri!” begitu seru wartawan itu, yang diketahui kemudian memakai nama samaran untuk tulisan itu, menutup khotbahnya yang tidak begitu panjang tetapi berapi-api. 

Wartawan itu, yang juga diketahui kemudian tidak pernah sembahyang dan hampir tiap hari berbicara dengan selingan lelucon-lelucon memperolok-olok Tuhan di tiap kalimatnya, tetapi juga tidak bersedia disebut komunis, mendapat persekot dari seorang ambtenaar kotapraja untuk 5 bulan gajinya di surat kabar tempat dia bekerja yang tidak pernah lancar dibayarkan karena surat kabar itu sulit sekali mendapatkan iklan. Dan tidak lama setelah tulisan itu muncul, dia telah saja menjadi juru ketik di penjara kota, mencatat penjualan sabut kelapa yang dikerjakan para tahanan, mengapitulasikan bon-bon belanja, dan beberapa pekerjaan lain yang hanya kadang-kadang saja menguras hari-harinya. Setiap bulan, dia menerima hadiah cerutu dari kepala penjara, kadang-kadang mengapel jatah ransum yang disunat dari jatah para tahanan sekali tiga bulan, dan dia begitu cepat makmur, menjadi tambun, jempol-jempol kakinya telah sebesar kepalan tinjunya sendiri. 

Tapi cerita ini tidak tentang lembah yang dari hari ke hari semakin banyak dihuni hantu itu. Juga tidak tentang dua wartawan tolol di atas. Pun tidak tentang toke emas yang mati terbunuh. Cerita ini, pada akhirnya, berkisah tentang Tuan Katebo kita ini yang suatu kali berjalan-jalan ke kantor arsip daerah, menemukan klipingan koran lama, membaca sebuah tulisan dengan tata bahasa yang kacau untuk ukuran sekarang,  tentang seorang tokoh padri, yang tidak pernah ditemukan dalam buku sejarah biasa, yang ditulis oleh wartawan itu. 

Tuan Katebo seketika itu ingin menulis novel biografis tentang tokoh itu. Uh, dia terinspirasi. Tetapi dia menemukan kenyataan bahwa padri itu seorang malang yang tak berketurunan, yang tidak punya pohon riyawat yang bercabang-cabang sehingga enak untuk dibicarakan sebagai sebuah novel. Akan ada banyak cerita menarik jika padri itu memiliki cabang-cabang dan ranting-ranting keturunan yang kompleks, apalagi bagi ukuran novel dengan perspektif sejarah keluarga. Tetapi itulah persoalannya, pada  diri tokoh kita itu, dia hanya menemukan keputusasaan dan ketakutan, yang kemudian terkalkulasi menjadi kebencian yang kenyataannya telah diledakkan berabad-abad silam.

***

Bunyi ketukan pintu terdengar tergesa-gesa, dan Tuan Katebo menjadi gusar, kenapa pintu harus diketuk padahal tidak dikunci. Istrinya terbungkuk-bungkuk membawa barang belanjaan dari pasar. Tuan Katebo memalingkan muka dan berkata kenapa lama sekali? Istrinya, yang tidak cantik, tetapi memiliki kulit muka yang lembut, terengah-engah keberatan mengangkat barang belanjaan yang banyak, kebutuhan sehari-hari yang dipersiapkan untuk sebulan. 

Istrinya berkata kalau harga-harga sekarang pada naik, dan dia harus menanyai setiap pedagang yang ada di pasar itu hanya untuk mendapatkan harga yang paling murah. Itulah sebabnya dia begitu lama di pasar sehingga lupa pada tuannya, Tuan Katebo. Apakah ayah sudah lapar, kata istrinya pula. Dan Tuan Katebo beringsut ke arah istrinya, meninggalkan meja kerjanya, merangkul istrinya, lalu mereka berciuman panjang. Mulut istrinya berbau bensin yang disemburkan knalpot angkutan pedesaan, puting susu istrinya seperti tampuk lobak busuk yang dibiarkan terkungkung dalam lembab karung, pangkal paha Tuan Katebo dua buah labu besar yang dibenam bersama sekilo kejambam sapi dalam sebuah lubang sedalam duapuluh inci selama berminggu-minggu, pangkal lengannya menusuk-nusukkan bau pesing dari air kencing yang tidak dibilas-bilas berbulan-bulan dari lantai kamar mandi. 

Bagaimana birahi bisa membara di tengah perut yang berdentum-dentum seperti meriam padri? Tuan Katebo, dengan kelegaan yang menjijikkan sehabis bersetubuh, hanya bisa bersungut-sungut mengunyah mentimun yang dibawa istrinya dari pasar, duduk bersila di depan perapian melihat punggung istrinya yang tengah sibuk memasak dengan baju kusut-masai. Baju yang menguapkan aroma seledri layu karena tersiram air pupuk kimia, rambut yang menerbarkan bau kuah sate kambing yang telah mengering. Dan kutang yang tergantung digagang pintu mengeluarkan aroma santan kelapa yang telah basi.

***

Pergilah mencuci, kata istrinya kepadanya, dan Tuan Katebo tergeragap dari lamunannya, dari lamunan tentang tokoh padri yang mandul itu; tidakkah dia dan istrinya saling memanggil dengan sapaan ‘ayah-bunda’ telah belasan tahun, hanya untuk menyembunyikan kecemasan-kecemasan mereka bahwa baik Tuan Katebo maupun istrinya juga tidak bisa menghasilkan satu cabang bayi pun? 

Tuan Katebo, dengan malas akibat pengaruh pikirannya sendiri mengenai padri itu, meraih kutang yang tergantung digagang pintu, melucuti pakaian istrinya selagi istrinya berdiri dan menyerahkan padanya sehelai kain sarung yang baunya lebih mirip lap kaki, mengumpulkannya bersama seluruh pakaian kotor di keranjang pakaian kotor di kamar mandi, dan merendamnya bersama deterjen yang ternyata hanya tersisa sedikit.  Ada beli deterjen, Bun, tanyanya pada istrinya. Di dalam kantong plastik, jawab istrinya cepat, dengan nada ketus yang entah kenapa tiba-tiba bangkit. Tuan Katebo, dengan malas-malasan, kali ini karena menahan perut lapar, seperti kucing mencari ikan dalam kantong belanjaan itu, mendapatkan yang dibutuhkannya. 

Di rumah kontrakan itu, di mana Tuan Katebo berhak tinggal hanya dengan membayar tagihan listrik dan tagihan PAM setiap bulan, rumah milik perantau yang ditinggalkan, yang terdengar kemudian hanya desis ketika ikan-ikan yang datang dari Padang dimasukkan istrinya ke dalam minyak jelantah tua dan bunyi gosokan dari arah kamar mandi di mana Tuan Katebo sedang mencuci baju. Selebihnya sunyi. Angin lagi diam, betung-betung di lembah arah ke tenggara juga diam. 

// Pandai Sikek, 2013 

(Media Indonesia, 15 Desember 2013)

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini