Celana Pendek & Cerita Pendek

Oleh Deddy Arsya

Apa arti celana bagi sebuah kekuasaan dan apa bagi rakyat?

Beberapa waktu setelah 1945, Idrus menulis sebuah cerita pendek yang tetap menarik dibaca sekarang. Bapak cerita pendek Indonesia itu menulis Kisah Sebuah Celana Pendek.

Tokoh utamanya seorang yang sulit dicari padanannya di dunia kita kini. Kusno, remaja 14 tahun yang baru tamat sekolah rakyat, dibelikan ayahnya sebuah celana pendek untuk ‘modal’ melamar pekerjaan. 

“Tepat pada hari Pearl Harbour diserang Jepang, Kusno dibelikan ayahnya sebuah celana pendek. Celana kepar 1001, made in Italia”, begitu Idrus memulai ceritanya itu.

Bagi sang ayah, membelikan Kusno sebuah celana pendek merupakan pencapaian yang istimewa bahkan sepanjang hidupnya. Ia hanya bekerja sebagai opas. Sulit bagi seorang opas dengan gaji rendah di zaman melarat itu—ketika kebanyakan orang berpakaian dari karung goni—untuk dapat membeli celana pendek bermerek luar negeri. Dan sang ayah berhasil melakukan itu untuk Kusno.

Tetapi, sekalipun telah memiliki celana pendek yang pantas, Kusno tidak pernah betul-betul mendapatkan pekerjaan yang baik sebagaimana yang diharapkan ayahnya. Mula-mula ia berkehendak menjadi juru tulis, tetapi kehendak itu harus diturunkan seturun-turunnya, dengan hanya bisa tercapai jadi opas. Pekerjaan baru Kusno itu membuat ayahnya bersusah hati. “Ia sendiri seorang opas. Meskikah anaknya menjadi opas lagi? Dan anaknya Kusno kelak opas pula? Turun-temurun menjadi opas? Tidak pernah tercita-cita olehnya, keluarganya akan menjadi keluarga opas,” begitu tulis Idrus menggambarkan perasaan Pak Kusno.

Tetapi, bagi Kusno, masalahnya bukan pada pekerjaannya itu, tetapi pada celana pendeknya. “Kusno bekerja dengan rajin, tapi celana kepas 1001-nya bertambah lama bertambah pudar, karena sering dicuci. Setiap bulan ia berharap akan dapat membeli sebuah celana baru, tapi uang yang sepuluh rupiah itu untuk makan saja pun tak mencukupi,” tulis Idrus lagi.

Cerita pendek Idrus itu mengambil latar zaman Jepang. Pada kurun Jepang, celana pendek menjadi celana yang memiliki muru’ah tinggi. Sulit menemukan orang-orang menggunakan celana panjang, bahkan hampir tak ada. Terkadang celana pendek melambangkan ‘kemelaratan’ rakyat di saat kiris pakaian, yang dengan itu pemimpin-pemimpin rakyat juga menggunakan celana pendek. Potret Soekarno yang cukup terkenal pada kurun Jepang ini adalah ketika ia berpose sedang menggerakkan romusha menggunakan celana pendek. Prajurit Peta dan Heiho juga berbaris ke medan tempur dengan celana pendek. Tapi, yang sesungguhnya adalah celana pendek merupakan adalah negasi atas celana panjang. Celana panjang adalah representasi pemerintah kolonial Barat yang, menurut propaganda Jepang, harus disingkirkan dari Asia Timur Raya. Celana pendek lebih bersifat ‘asli Timur’ yang sederhana dan bersahaja, lebih mencerminkan kebudayaan rakyat. Mungkin saja begitu, sebab, William Marsden yang menulis History of Sumatera lebih dua abad yang silam menuliskan bahwa pakaian asli orang Sumatera adalah celana pendek yang dibuat dari kulit kayu. Celana pendek itu kadang dikombinasikan dengan baju tanpa lengan (semacam rompi atau jaket), kain sarung yang diselempangkan di dada/leher, destar/kain penutup kepala, kadang-kadang tanpa kombinasi apa-apa (bertelanjang dada).

Mungkin karena itu, propaganda Jepang untuk menghadirkan dirinya sebagai kekuatan Timur mengikutkan pakaian sebagai bagiannya. Dalam sebuah artikel bertajuk “Negara di atas kulit: Pakaian, Sepatu dan Kerapian”, sejarahwan Henk Schulte Nordholt menulis dengan baik sekali tentang bagaimana negara berhubungan dengan pakaian rakyatnya. Pada masa pendudukan Jepang, misalnya, rok Barat sedikit banyak menghilang dari wilayah umum. Ia menjadi pakaian penjara kaum wanita kulit putih, sementara wanita Indo-Eropa dan wanita Indonesia terpelajar memutuskan untuk mengganti pakaian Barat dengan kain sarung dan kebaya. Bagi kaum lelaki, dasi hampir menghilang dan, akibat pengaruh Jepang, diganti dengan krah kemeja terbuka, sementara peci di mana-mana menjadi lambang persatuan nasional. Sementara para pegawai, kata Henk, ke kantor berpakaian celana pendek.

Kini, celana pendek justru dianggap Barat. Pakaian memang adalah “kulit sosial dan budaya”, dan ia mengandung nilai-nilai yang berpotensi berubah. Pakaian merupakan ekspresi identitas seseorang. Mengingat itu, meminjam Henk lagi, orang-orang memandang pakaian mereka sebagai perluasan diri mereka. Pada tataran yang lebih tinggi, pakaian menjadi alat dalam membentuk dan mereproduksi kelompok-kelompok yang masing-masingnya memiliki batas-batas jelas. Henk menulis bahwa baik negara maupun kelompok kepentingan menggunakan kode-kode berpakaian untuk menciptakan penampilan kuat dari kontrol negara, kebangsaan atau solidaritas kelompok.

Tapi, dalam cerita Idrus, bagi orang-orang sengsara seperti Kusno, tidak ada identitas yang berarti yang dikandung sebuah celana pendek selain ia adalah alat penyamar kepapaan. Yang diinginkan rakyat hanya berpakaian, terhindar dari ketelanjangan yang memalukan. Tidak terpikir oleh mereka identitas politik atau politik identitas apa pun yang dikandung sebuah pakaian. Mereka, kata Idrus, “...hanya mau hidup sederhana dan hidup bebas dari ketakutan esok hari tidak mempunyai celana.” Bagi orang-orang seperti Kusno dan ayahnya, celana hanya jalan untuk mendapat pekerjaan, mendapat hidup yang lebih baik, untuk dapat melanjutkan kehidupan. Orang-orang terhormat dan terpelajar saja yang melihat pakaian sebagai bagian dari politik identitas yang agung. Sementara rakyat sederhana, tidak bisa berpikir jauh-jauh ke situ, selain “Setiap bulan ia berharap akan dapat membeli sebuah celana baru dari gaji yang untuk makan saja pun tak mencukupi.”

Pada masa paling darurat semisal selama periode penjajahan Jepang, celana tidak lebih dari penutup aurat yang terkadang langka sehingga sulit didapat dan mahal, bahkan untuk sebuah celana topo sekalipun. Masa Jepang, banyak orang yang hidup ‘telanjang’ di kota-kota dan di desa-desa [terutama] di Jawa [yang melarat], tidak dapat menutup benteng privasinya yang paling akhir kecuali hanya dengan daun-daun kayu sebisanya. Aurat, segala sesuatu yang dapat menjadikan seseorang malu atau mendapatkan aib (cacat), tergelanggang mata orang banyak dengan mudah. Dalam pengertian konotatif maupun denotatif, perut yang lapar seringkali mengalahkan kepentingan akan celana, akan penutupan aurat. Jika celana adalah pertahanan ‘harga manusia’ paling terakhir, perut lapar dapat menanggalkannya dengan mudah. Idrus punya pilihan untuk mengakhiri ceritanya begitu, ketika Kusno yang lapar dan sengsara, bertambah sengsara setelah tidak lagi bekerja, dan hanya makan dari daun-daun, berkeinginan menjual celana satu-satunya itu. Tetapi, bagi Idrus, Kusno tidak menjual celana pendeknya, sekalipun celananya itu telah menjadi topo—tua dan lusuh, sudah dapat dijadikan lap kaki. “Begitulah, Kusno tidak menjual celananya, tidak mencuri, sering sakit kepala dan hidup dengan daun-daun kayu. Tapi ia hidup terus, sengsara memang, tapi hidup dengan bangga.”

Apa celana bagi Idrus? Semacam harga diri? Ia menyandingkan pertahanan terakhir privasi yang bernama ‘celana’ itu dengan ‘tidak mencuri’. Ketika manusia mencuri untuk dapat bertahan hidup, tidakkah ia telah melepaskan harkat-martabat sebagai manusia? Idrus bagai hendak mengatakan: Pada saat yang paling sengsara sekalipun manusia masih tetap bersetia pada harga dirinya sebagai manusia. Sebab ketika benteng terakhir itu telah tanggal dari dirinya, ia tak lebih berarti dari apa-apa.

Pandai Sikek, 2016

(Publikasi: Padang Ekspres, 4 September 2016)    

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini