Camus dan Saya

Oleh Deddy Arsya

“Apa jadinya aku tanpa jam-jam kantor?”

Tulis Albert Camus hampir satu abad yang silam. Saya membayangkan dia berjalan-jalan di kota-kota Aljazair, jauh dari jam kantor yang  dikutuknya. Sesekali ketika punya uang dia menyinggahi bar dan menghabiskan malam mendengar jazz. Hampir seratus tahun yang lalu Camus mengatakan hidupnya berada di antara keinginan bunuh diri dan semangat yang menggebu-gebu namun gampang padam. “apa yang kau pikirkan tentang hidupmu di masa depan adalah kesia-siaan yang kau rawat senantiasa.” Dan kini, bayangan Camus tetap hidup meskipun diingat dengan keengganan yang parah.

Saya tak tahu, apakah Camus pernah ke Indonesia. Jika pun pernah, dia akan tahu lebih dari orang Indonesia sendiri, bahwa kemiskinan dan rasa bersalah lebih membunuh dari bencana kemanusiaan yang paling parah sekalipun, seperti perang dan wabah. Indonesia adalah tempat yang pantas untuk Camus, ironi adalah kehidupan sehari-hari itu sendiri.

Tidak, tidak, Camus tidak pernah ke Indonesia. Dan saya percaya, Camus tidak mengenal kota saya ini. Saya katakan pada Anda, kota ini tak pernah mengakui keberadaa bar dan diskotik, meskipun diam-diam semuanya itu ada dan berdenyut setiap malam. Jika Anda datang dari jauh dan bertanya, arah ke manahkah tempat di mana Anda bisa menghabiskan malam-malam Anda dengan mendengar jazz dan segelas bir, saya tidak tahu, sungguh tidak tahu. Ke Vallas (apakah saya salah tulis?) atau ke mana?

Saya bisa saja membayangkan bahwa Anda datang dari masa lalu yang jauh, seratus tahun yang lalu barangkali. Saya membayangkan Anda Camus yang datang mengunjungi kota saya. Dalam ransel Anda ada beberapa catatan-catatan yang Anda bawa dari Prancis—berapa ongkos ferry dari Marseile ke Aljazair?

Saya bisa saja keliru, dan sudah pasti keliru, tapi kita kadang perlu merawat impian-impian yang tak akan pernah jadi nyata sekalipun untuk merasa bahagia. Ini kebahagiaan yang semu, ya, saya tahu. Tapi apakah yang tidak semu dari hidup kita ini?

Saya tak pernah mencintai kota saya ini, tetapi ada beberapa hal yang membuat saya tak bisa meninggalkannya. Sesekali saya merindukan pementasan drama yang panjang dan menarik, tapi hal itu jarang sekali terjadi. Sering saya dengar justru khotbah-khotbah dari seorang yang sok tahu dengan pemain yang bergerak seperti orang-orang terjangkiti ayan.

Kadang, saya ingin berjalan sendirian di pantai, atau memasuki pasar. Membicarakan pasar, saya kadang ingat Olie, dia mungkin tak pernah membaca Camus, tapi sekali dia memperlihatkan sebuah sajak yang panjang dalam bahasa Inggris. Anda sudah tahu sejak lama, Inggris saya buruk. Saya tidak bisa seperti Olie yang terkagum-kagum melihat pasar dunia ketiga.

Rumah saya sekitar 7 kilometer dari pantai, 7 kilometer dari pasar. Pantai dan Pasar, betapa sulit keduanya dibedakan dalam diri saya, sama-sama berdebur, sama-sama hiruk-pikuk. Di titik di mana kita ditelan kesunyian yang parah, kesepian yang tak tertahankan sakitnya, pasar dan pantai bisa jadi penawar. Tapi hidup kita sehari-hari tak melulu bergelut dengan pasar, dengan pantai.

Barangkali ini tak penting. Baik, saya akan berbicara masalah lain. Ketika malam saya tidak bisa tidur karena cuacanya terlalu panas. Saya merindukan punya istri dari daratan yang mataharinya agak sedikit lembut. Di kota kami, Anda yang datang dari negeri yang memiliki empat musim tidak akan bisa merawat hidung Anda untuk tidak jadi merah. Kota kami, kota dengan matahari yang garang, kota yang membuat hidung siapa saja jadi merah. Di masa lalu, gelombang pantai barat menelan sejarah kapal-kapal dagang, dari Peranggi, VOC, perusahaan India Timur, Prancis dan Amerika, Inggris dan Spanyol, mereka tidak pernah lebih berani dari seekor anjing kampung untuk berlabuh di pantai kota kami. (Saya mengatakan ini kepada Anda hanya untuk mengenang dosen saya yang memberi saya sebuah majalah, Amogapasha, majalah arkeologi, yang di dalamnya ada beberapa tulisan tentang tinggalan dunia bawah laut pantia barat!)

Dan Camus, kembali ke Camus, saya membayangkan dia menaiki kapal, melambai pada daratan Eropa yang kering-basah. Afrika, Afrika, tempat orang-orang Arab membangun kemah, dan angin gurun Sahara menghembus memasuki kota memasuki hidung—bersiap-siaplah untuk mimisan ya Saudara. Dalam ranselnya yang berat, kritik-kritik Sartre, Kierkegaard (maa, saya tak begitu baik mengenal mereka), juga bayangan kota Stalin yang baru saja diruntuhkan perang saudara, terus diusung dari hotel ke hotel.

Sayang, Camus tidak pernah ke Indonesia, tidak pernah ke Padang yang panas ini!

Saya akhiri, saya membayangkan Camus tak bernyawa di sebuah hotel murah di Aljazair, TBC, pes, dan masa lalu yang akut merontokkan dadanya sejak lama, kesepian telah mematahkan batang leher dan mencopot kelaminnya yang panjang. Jika Niethsche menjadi gila sebelum kematiannya, saya tidak tahu, kesunyian seperti apa yang diidap Camus sebelum pintu hotel di kota Aljazair itu didobrak dengan paksa.

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini