Bilik dan Tandas (Apa arti privasi di abad ke-21 ini?)

Oleh Deddy Arsya

Di Eropa, bilik dan tandas adalah benteng privasi paling penting dan [mungkin] paling awal yang dimiliki manusia modern. Keduanya telah ‘diusahakan’ berabad-abad lamanya untuk ‘direbut’ dari paradigma kuna yang nyaris tak menyediakan ruang untuk privasi—ruang untuk keleluasan pribadi.

Sementara, di Minangkabau tradisional, rumah gadang (sebagai representasi matriarkat) nyaris tidak menyediakan ruang sedikitpun untuk privasi. Sekalipun secara sekilas, dalam masyarakat ini, kamar atau bilik tampak menyediakan ruang untuk privasi, tetapi tempat itu seperti baju tembus pandang, di mana lekuk-lekuk tubuh dapat diketahui sekalipun terlihat tertutup. Rambut yang basah ketika pagi, atau bunyi derit dipan yang terbuat dari besi-polong itu, atau dinding pembatas ‘tipis’ dari bambu, atau kamar saling berhimpitan. Dan ruang ini pun dikonotasikan negatif: berlama-lama dalam bilik pun tidak baik secara moral, sebab kamar dikonotasikan sebagai ruang bersenggama an sich.

Begitu pun dengan tandas. Orang-orang di sini menyebutnya 'tandaih'. [Anda di kota-kota besar dengan bangga berkata: itu mah toilet! Sebuah kata yang diadopsi dari bahasa Prancis, toilettes. Sementara tandas adalah kosakata Melayu yang kini terasa telah menjadi arkais—asing di telinga dan kuna di lidah. Di kamus Indonesia, ‘tandas’ adalah kata kerja yang berarti habis semuanya; hilang sama sekali; habis-habisan. Namun, sebagai noun, kata itu juga berarti: jamban, kakus (di atas selokan dsb.); tempat mandi (di sungai); pemandian. "Lupa untuk membawa telepon Anda ke tandas adalah seperti lupa untuk membawa senjata untuk berperang," kata sebuah pepatah Melayu posmo, pepatah parodik yang menggambarkan betapa pentingnya telepon seluler bagi masyarakat kita sekarang]. Di Minangkabau tradisional, sekali lagi, dan kini pun kadang-kadang masih, tandas memang masih berada di pinggir kolam/tebat, atau di pinggir sungai. Toilet jenis ini hanya memberi privasi yang setengah-setengah, orang yang lewat dapat melihat kotoran Anda mengambang, atau orang masih akan tahu siapa yang tengah berada di dalam tandas itu karena bangunannya yang ‘amat sederhana’ sehingga memungkinkan setengah kepala Anda tersumbul keluar. Apalagi jika tandas itu berupa ruang terbuka di pinggir sungai dengan [hanya] sebuah batu besar sebagai dinding yang membatasi Anda dari mata publik.

Baik bilik maupun tandas [mungkin] adalah benteng terakhir bagi privasi manusia modern sebagaimana keduanya adalah pengukuhan mula-mula akan hal yang sama di dunia Barat sana. Sementara di Minangkabau tradisional, keduanya sesungguhnya bukanlah benteng privasi yang kokoh, dalam artian dia masih teramat mudah untuk diterobos publik—mata orang banyak. Tetapi toh Minangkabau bukan kasus yang khusus. Hal serupa akan jamak ditemukan pada masyarakat tradisional lain. Pada kenyataannya, sebagian besar manusia hidup sepanjang sejarah memiliki sedikit konsep privasi dalam komunitas kecil mereka. Seks, menyusui, dan mandi tanpa malu-malu tampil di depan teman-teman dan keluarga. Dalam masyarakat yang lebih ‘kuna’ lagi, antropolog Jared Diamond misalnya menuliskan: "Karena anak-anak pemburu-pengumpul tidur dengan orangtua mereka, baik di ranjang yang sama atau di pondok yang sama, maka [dalam kondisi demikian itu] tidak ada privasi. Anak-anak melihat orangtua mereka berhubungan seks. Di Kepulauan Trobriand, Malinowski diberitahu bahwa orangtua tidak mengambil tindakan pencegahan khusus untuk mencegah anak-anak mereka dari menonton mereka berhubungan seks: mereka hanya memarahi anak dan memberitahu mereka untuk menutupi kepalanya dengan tikar."

Dasarnya manusia memang memiliki keinginan naluriah untuk privasi, kata Greg Ferenstein dalam "The Birth and Death of Privacy". Dalam ilmu psikoanalis, privasi berarti dorongan untuk melindungi ego seseorang dari gangguan yang tidak dikehendakinya; kebebasan dan keleluasaan individual untuk menentukan kapan-bagaimana-sejauhmana tabir hal-ikhwal dirinya dibukakan kepada kalayak. Dalam sejarah, dunia modern telah mencoba merebut privasi itu dengan bersusah payah. Tetapi privasi baru dapat diperoleh manusia sekitar 150 tahun belakangan ini, padahal telah selama 3000 tahun manusia berjuang untuknya. Barat dianggap yang paling getol merebutnya dan memperolehnya seiring gerak modernitas yang tengah berlangsung. “Privacy is a distinctly modern product” kata E.L. Godkin pada 1890. Dan di Indonesia, privasi nyaris tak terelakkan diperkanalkan Barat kepada kita sebagai bagian dari produk modernitas lewat kolonialisme yang berlangsung berabad lamanya.

Namun, Barat sendiri juga memperolahnya baru-baru ini saja, tidak lebih dari 1,5 abad belakangan. Di Barat, bilik [sebagai ruang terpisah] dan tandas, misalnya, adalah dua penemuan awal yang digerakkan oleh keinginan naluriah manusia akan privasi itu. Untuk yang pertama: Greg Ferenstein dalam esai yang sama mengutarakan bahwa epidemi telah turut membantu manusia memperoleh privasi lebih banyak. Bilik atau tempat tidur individu adalah penemuan modern yang lahir seiring dengan itu. Begini hubungannya: Sebagai salah satu item yang paling mahal di rumah, ‘tempat tidur tunggal yang besar’ menjadi tempat untuk pertemuan sosial, di mana para tamu diundang untuk tidur dengan seluruh keluarga dan beberapa budak. Namun, ketika penyakit menular Black Death menyerang Eropa dengan ganas, para pasien tidak mungkin lagi ditempatkan dalam sebuah ruang bersama—yang memudahkan penularan. Untuk itu, sebuah kamar khusus dengan tempat tidur yang juga khusus untuk orang per orang menjadi populer. Dengan itu, privasi semakin menguatkan dirinya dalam kehidupan sosial. Namun pada ketika ini pun, kata Greg, secara umum di Eropa hanya sedikit orang yang menuntut privasi saat mereka tidur, karena bahkan tempat tidur terpisah pun tidak akan memberikan mereka ‘kesan’ kemewahan. Sejak zaman pencerahan, di Eropa setidaknya orang kaya memang telah dapat melindungi dirinya (privasinya) di rumah pribadi dengan membuat ruang terpisah antara budak dan keluarga, namun kebanyakan rumah tetap hanya memiliki satu ruangan.

Untuk yang kedua: A History of the Flush Toilet karya Maureen K. Francis mendedahkan untuk kita mengenai penemuan tandas dan bagaimana ruang itu bertransformasi dalam konteks fungsinya sebagai bagian dari ruang privat yang penting. Maureen menulis: “meskipun pelopor untuk sistem toilet flush modern [sebagai yang kita kenal sekarang] telah dirancang sejak tahun 1596 oleh John Harington, namun toilet tidak menjadi bagian dan digunakan secara luas di rumah-rumah sebagai peruntukan pribadi sampai akhir abad kesembilan belas, ketika diadopsi ke dalam bahasa Inggris dan digunakan masyarakat kelas atas”. Kini orang Barat memang menyebut tandas, atau jamban/kakus itu, dengan sebutan yang sangat terhormat: “rest room” (yang arti harfiahnya adalah tempat istirahat). Ruang ini telah menjadi ruang yang paling memanjakan privasi manusia hingga kini.

Dimulai dari bilik dan tandas, manusia telah berhasil merebut banyak ‘ruang lain’ untuk privasinya. Sejak akhir abad ke-19, privasi bahkan secara resmi telah diakui sebagai hak politik. Hingga abad ke-20, Greg mengatakan bahwa manusia telah menjadi begitu sensitif terhadap publisitas, sehingga kesendirian dan privasi telah menjadi lebih penting untuk individu.

Tapi sekarang kita telah melewati 15 tahun awal abad ke-21. Apa arti privasi bagi manusia Bumi ini kini?

Abad ini adalah abad kejatuhan privasi. Sebab apa yang paling intim dari kita pun bahkan telah dapat diakses dengan mudah. Semua ruang hidup manusia terpublis melebihi apa yang paling intim dari bilik dan tandas; lebih dari persetubuhan dan ‘cebok’. Perkembangan jejaring sosial di internet, seperti Facebook, Twitter, Google, MySpace, Twitter, Bebo, Habbo, dan lainnya membuat orang lain dengan mudah dapat mengetahui informasi pribadi Anda. Berbagai tembok tinggi-berlapis yang telah dipasang untuk melindungi data privasi Anda di dunia maya dapat dengan mudah diruntuhkan. Dari sisi pengguna, mereka dengan suka rela membocorkan/mempublis sejumlah informasi pribadi yang terbilang sangat rahasia. Setiap klik dan gerakan mereka di dunia maya, akan meniggalkan sebuah jejak yang bisa dilacak oleh pihak lain. Pada akhirnya, ‘kalayak yang ingin’ dapat merekam dengan detail semua kegiatan mereka, ketertarikan mereka, dan bahkan teladan perilaku mereka. Ini adalah sesuatu yang mengancam privasi seseorang dan membuatnya tidak berarti, demikian dilaporkan suratkabar Inggris, The Telegraph baru-baru ini.

Sementara itu Greg juga mengatakan (dalam "The Birth and Death of Privacy"), bahwa orang-orang kini dengan senang hati dan suka rela telah membeli fitur pelacakan lokasi (GPS) yang dulunya merupakan mimpi buruk. Dengan itu siapapun dapat melacak di mana kita tinggal. Sementara itu, kata Greg lebih jauh lagi, apa saja dari diri seseorang dapat diketahui lewat mesin pelacak, semisal Google’s Larry Page yang mempublis nyaris apa saja, bahkan semisal rincian paling intim dari kesehatan para pasien peserta asuransi. Apa yang bisa kita katakan dengan informasi kesehatan dasar, seperti kalori yang terbakar sepanjang hari? Hampir semua. "In the end, privacy will be an early death sentence," tulis Greg.

Pada akhirnya, sebagaimana masyarakat tradisional yang nyaris tidak memiliki privasi, di masa depan kita juga akan menyaksikan seluruh privasi (yang telah direbut beribu tahun) ditanggalkan dengan sukacita. Di masa depan, kita akan membikin bilik dan tandas dari kaca yang tembus pandang, di mana aktivitas kita yang paling intim sekalipun akan bergelanggang mata orang banyak. Greg mungkin benar, “... kita akan melupakan privasi dan kembali ke keberadaan kita yang tradisional, transparan!”

Pandai Sikek, 2016

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini