Benteng VOC di Muara Padang

oleh Deddy Arsya

E. B. Kielstra, dalam “Onze kennis van Sumatra's Westkust, omstreeks de helft der achttiende eeuw”, Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, Volume 39, 01 Januari 1890, menuliskan bahwa benteng kompeni di Padang ialah Benteng Muara, terletak di tepi sebelah utara Batang (Sungai) Arau, di kaki Gunung Padang. Benteng ini mulai dibangun VOC pada 1665. Pembangunannya memakan waktu yang cukup lama, karena sekalipun alat-alat bangunan telah  didatangkan dari Batavia akan tetapi Panglima Padang (pemimpin pribumi Padang masa itu) menghalang-halangi proses pengerjaannya.

Benteng ini bertembok tinggi dan tebal, dikelilingi parit-parit dalam dan menghadap ke Batang Arau. Di dalam benteng itu, catat Mansoer dkk dalam Sedjarah Minangkabau, bertempat kediaman ‘het opperhoofd van Padang’ dengan pangkat ‘koopman’, atau lazim disebut ‘commandeur’, atau Tuanku Kemendur. Wakilnya adalah ‘onder koopman’, komandan pasukan dengan pangkat letnan muda. Berdiam di dalam benteng itu ‘vaandrig’ dan pasukannya. Dalam benteng juga terdapat gudang-gudang tempat menyimpan rempah-rempah, barang dagangan VOC, dan gudang senjata. Sementara di luar benteng berkembang pemukiman-pemukiman para pensiun dan orang-orang tua bangsa Belanda yang secara politik tidak berarti lagi bagi kompeni. Mereka disebut kaum mardijkers. Benteng dan pemukiman orang asing di luar benteng inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Kota Padang kolonial.

Pada masa VOC, beberapa orang Minangkabau ditangkap lalu kemudian dipenjarakan di dalam benteng itu, untuk kemudian dibuang ke luar daerah akibat perlawanan frontal mereka terhadap kekuasaan kompeni di Padang. Pada awal-awal kekuasan VOC di Padang, misalnya, kas kompeni dagang Belanda tersedot untuk mengakhiri perlawanan mantan-mantan petinggi Aceh yang mendapat dukungan dari penduduk setempat.

Berdasawarsa-dasawarsa lamanya kompeni masih harus menanggungkan derita yang sama. Sebagaimana dicatat Christine Dobbin, bahwa pada tiga dekade akhir abad ke-17, dua orang Minangkabau yang paling kaya yang tidak mau menjalin sekutu dagang dengan Belanda, tetapi memilih berhubungan baik dengan Aceh, misalnya, bersama keluarganya ditangkap dan dipenjarakan sebelum kemudian dibuang. Belum lagi, perlawanan-perlawanan simultan dari desa-desa di pinggiran Padang seperti Pauh dan Koto Tangah. Di antara penyerang ada yang terbunuh ada juga yang kemudian tertangkap hidup-hidup, dipenjarakan dalam benteng, sebelum akhirnya dibuang.

Kielstra misalnya mencatatkan bahwa pada 1691, Panglima Raja dan 50-60 orang Pauh menyepung benteng ini untuk membebaskan tahanan yang ada di dalamnya sekalipun gagal karena air sungai membesar akibat hujan deras berhari-hari. Pada beberapa dasawarsa sebelum itu, benteng ini pernah pula dikepung juga  untuk memaksa kompeni membebaskan 9 orang tahanan pribumi Pauh yang dipenjarakan di dalamnya.

Sebagaimana loji-benteng bangsa Eropa lainnya di Hindia, Benteng VOC di Muara Padang dilengkapi dengan satu ruangan yang disebut ‘de boien’ dalam  lidah penjelajah Belanda awal, yang berfungsi sebagai tempat pemenjaraan tawanan dan tahanan atau sebagai alat preventif, maupun sebagai penjara bagi budak-budak. Tidak banyak yang bisa diterangkan tentang penjara di dalam benteng ini, kecuali bahwa sebagaimana penjara dalam benteng kompeni di daerah lainnya, tempat ini lembab karena langsung berdiri di atas tanah.  Tidak ada ventilasi sehingga keadaan di dalamnya pengap dan bau.

Benteng adalah penopang kekuasaan politik dan hukum VOC pada masa itu.

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini