Beberapa Cuplikan Berita Penangkapan Kaum Komunis di Minangkabau

Beberapa Cuplikan Berita Penangkapan Kaum Komunis di Minangkabau

Oleh Deddy Arsya

Komunisme masuk ke Sumatera Barat pada awal abad ke-20 lewat jasa Magas, seorang pemuda asli Sumatera Barat yang pernah lama tinggal di Jawa dan sempat lama bergaul dengan beberapa tokoh komunis di Jawa. Komunisme kemudian berkembang dengan berbagai praksis. Tokoh-tokoh komunis mencobakan berbagai kemungkinan seperti mendekatkan komunis kepada Islam. Jika semula kehadirannya di Sumatera Barat hanya untuk menandingi Syarikat Islam yang telah lebih dulu ada di Sumatera Barat, dua tahun setelah kehadirannya gerakan komunis mendapat tempat yang luas di tengah masyarakat Minangkabau. Apalagi sejak dipindahkannya pusat gerakan komunis dari Padang ke Padangpanjang, praktis, komunis Padangpanjang memainkan peran yang gemilang dalam menarik pengikut.

Haji Datoek Batoeah, seorang tokoh adat dan guru agama di Sumatera Thawalib, mencoba menggabungkan antara prinsip-prinsip komunisme dan Islam. Di tangan Batoeah, komunis terlihat lebih ramah di mata kaum muslim. Bersama Natar Zainuddin, mereka mencoba menggabungkan semangat jihad Islam dengan ideologi pembebasan kaum marxis. Islam dan komunis sama-sama gerakan revolusioner, begitu tesis yang dipakai Batoeah. Semangat anti pemerintah juga dipupuk terus-menerus dengan berbagai rapat akbar dan penyebaran tulisan-tulisan di surat kabar. Datoek Batoeah mendirikan surat kabar Pemandangan Islam, sementara Natar Zainuddin menerbitkan Djago-djago, kedua koran itu dengan gencar menerbitkan tulisan-tulisan yang keras membongkar kebobrokan penguasa kolonial Belanda.

Komunis tersiar demikian cepat. Di kalangan murid-murid Sumatera Tawalib, gerakan komunis diterima, dalam catatan Hamka, selekas “rumah terbakar di musim panas”. Apalagi, ketika itu hampir tidak ada gerakan radikal yang muncul pasca-dihancurkannya perlawanan rakyat dalam pemberontakan pajak pada dua dasawarsa yang telah lewat. Gerakan komunis, catat Hamka, diharapkan dapat membangkitkan kembali semangat perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Penyebaran gerakan komunis yang demikian pesat bukannya tanpa lawan. Penolakan yang keras muncul dari ulama pembaharu dari kalangan Thawalib sendiri. Haji Abdulkarim Amarullah menjadi penentang paling keras terhadap penyebaran nilai-nilai komunis ke tengah masyarakat Minangkabau. Namun, koran-koran komunis dengan segera menghantam beliau dengan tidak kalah kerasnya. Haji Abdulkarim Amarullah, dikatakan dalam koran-koran komunis, menurut catatan Hamka, sebagai “pemeras rakyat, minta sedekah, menjual ayat untuk kepentingan diri sendiri”.

Suara kaum komunis tidak bisa dipepat dengan mudah, semakin waktu semakin lantang. Kelompok komunis bahkan sudah berani melakukan perlawanan terhadap pejabat-pejabat pemerintah setempat dengan cara menyindir (bahkan menghujat) dalam rapat-rapat akbar. Namun, sikap keras itu punya konsekuensinya: pemerintah kolonial Belanda juga bertindak keras. Di ujung tahun 1923, rentetan penangkapan terhadap aktivis komunis pun dimulai. Dunia Achirat, Kamis, 10 Juli 1924, melaporkan telah ditangkap Nawawi Arief dan dipreventief di Penjara Padang. Penangkapan itu bersebab Nawawi berbicara memburuk-burukkan pemerintah di Kampung Alai (Padang). Nawawi adalah seorang komunis asal Minangkabau yang baru kembali dari Bandung,

"Ja, sekarang ada zaman preventief!" tulis Dunia Achirat pada terbitan yang sama. Pada 7 Maret 1924, Magas Abdul Madjid, Voorzitter Serikat Rakyat, juga telah ditangkap dan dipenjarakan di Penjara Padang, atas tuduhan "telah melakoekan penghasoetan”ketika rapat umum "protest vergadering" di Padangpanjang beberapa waktu sebelumnya. Bersama Magas ditangkap dan dipenjarakan pula A. Wahab (Sekretaris Pantai Komunis Afdeling Padang), Djalaludidin (Sekretaris Serikat Islam), dan M. K. A. Gafoer (Sekretaris Serikat Rakyat). Dunia Achirat sekali lagi melaporkan bahwa surat-surat dan buku-buku yang terdapat di kediaman orang-orang ini disita pihak kepolisian pemerintah. Di waktu yang bersamaan, ditangkap pula 3 orang serdadu Manado yang telah masuk komunis di Alang Lawas (Padang). Semua nama di atas dibui di Penjara Padang.

Namun, Bukan hanya di Padang, penggeledahan dan penangkapan besar-besaran atas aktivis komunis juga terjadi di Koto Laweh, Padangpanjang—kota di mana gerakan komunis tumbuh dengan subur. Pada tanggal 11 bulan Maret, Haji Datuk Batuah, redaktur suratkabar Pemandangan Islam di Padangpanjang, ditangkap dan ditahan dalam bui. Bersama Batuah, ditangkap dan dibui pula Natar Zainuddin, redaktur suratkabar Djago Djago di Padangpanjang. Kedua orang ini, dilaporkan, akan diinterneer, tetapi sementara menunggu datangnya besluit, mereka telah dipindahkan dari Penjara Padangpanjang ke Penjara Padang. Telegram melaporkan, dua orang redaktur suratkabar ini didakwa "membikin persekutuan akan mengatur pemberontakan di Padangpanjang" Nama-nama lain yang ditangkap di Koto Lawas adalah Datuk Indo Kayo, Mangkudun Sati, Djoeret, Ibrahim, Rajo dan Kayo, dan Baginto Tan Emas. Mereka semua ditangkap polisi intelegen yang dibantu militer yang secara khusus didatangkan dari Padang. Sayang sekali, tidak didapat angka-angka yang pasti mengenai jumlah orang-orang komunis yang ditangkap sebelum pemberontakan komunis pada 1927 ini.

Tertangkapnya tokoh-tokoh komunis ‘awal’ tidak serta-merta memadamkan gerakan komunis. Organisasi-organisasi sayap perkumpulan komunis seperti Serikat Rakyat, Serikat Tani, Serikat Tambang, Serikat Ibu, dan lainnya, semakin tumbuh berkembang. Rapat-rapat akbar yang menyebarkan propaganda-propaganda komunis disebarkan ke nagari-nagari. Tidak mengherankan jika semakin hari semakin banyak orang yang menjadi anggota perkumpulan. Kritik-kritik tajam terhadap pemerintah diutarakan dalam pertemuan-pertemuan perkumpulan itu. Kritik-kritik itu misalnya bersoal pembayaran belasting dan bersoal pengerukan ‘gunung emas kita’ di Sawahlunto oleh Belanda. Tentang yang disebutkan terakhir, propagandanya demikian gencar, terutama di suratkabar Suara Tambang, yang dengan giat menjadi corong suara para buruh tambang di Sawahlunto, lihat nada keras salah satu cuplikan beritanya:

“... tidakkah saudara mengetahui, hasilnya yang bermilyun-milyun diambil saja oleh kapitalis dan saudara kita yang sebelah sana umpamanya Silungkang, Padang Sibusuk, tidak mendapat sedikit juga hasil Sawah Lunto itu, jangankan mendapat hasil, sedangkan sawah yang sudah jadi dulu, sekarang tidak lagi, karena kekurangan air disebabkan tambang batubara itu.

Tidak ayal lagi, di tengah semakin memanasnya suasana politik, pemberontakan hanya akan menunggu waktu. Pada pertengahan tahun 1927, beberapa puluh orang berkumpul di sebuah rumah besar di Pasar Silungkang. Seekor kerbau direbahkan dan dimasak untuk makan besar. Banyak orang yang hadir, tulis Mestika Zed, hingga melimpah keluar rumah. Besoknya, pemberontakan meletus. Beberapa orang pejabat pemerintah di Sawahlunto dan di Silungkang dibunuh, beberapa orang guru yang berafiliasi kepada pemerintah juga dibunuh, dan penjara Sungai Durian diserang. Di Padang, berpusat di Pauh, juga meletus perlawanan yang serupa, meskipun tidak segawat di Silungkang. Di Padangpanjang dan Fort de Kock, gerakan terburu diketahui mata-mata pemerintah sehingga tidak jadi meletus. Penguasa setempat dianggap berjasa karena dengan cepat dapat membaca situasi.

Secara umum, pemberontakan komunis 1927 itu mati sebelum sempat berkembang. Sejak pemberontakan komunis yang gagal itu, di Sumatera Barat, penangkapan besar-besaran semakin marak terjadi. Di Silungkang, laki-laki, perempuan, dan anak-anak dikirim ke Penjara Sawahlunto, sehingga penjara itu penuh sesak. Tokoh utama pemberontak seperti Kaharudin Manggulung, M Yusuf, Sampono Kayo, Ibrahim Malawas digantung di Pasar Silungkang. Tokoh pemberontak lainnya seperti Sulaiman Labai langsung dibuang ke Ambarawa dan akhirnya meninggal di daerah itu. Empat orang tokoh pemberontak lainnya ditembak serdadu Belanda di Stasiun Silungkang.

Tokoh-tokoh pemberontak yang mendapat hukuman dua tahun ke bawah dimasukkan ke Penjara Sawahlunto. Mereka yang tidak tertampung dikirim ke Penjara Padang bersama pemberontak-pemberontak lain yang ditangkap di Pauh dan Koto Tangah, dan beberapa yang lain yang ditangkap di Padangpanjang. Ada juga yang dikirim ke Glodok. Pada tahun 1930, Direktur van Justitie bahkan menetapkan Penjara Padang sebagai penjara khusus bagi tahanan komunis sebelum diambil alih oleh Penjara Glodok pada tahun berikutnya.

Apakah penangkapan dan pemenjaraan itu dapat ‘menjinakkan’ kaum komunis bumiputra? Atau pemerintah kolonial hanya, mengutip bahasa Dunia Achirat, "mengeloearkan ongkost jang sia-sia"? Buku saya, yang di antaranya, menjawab tentang ini akan segera...

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini