Bahasa dan Politik

Oleh Deddy Arsya

Kelebihan parta-partai masa Orde Lama yang tidak dimiliki satu pun partai sekarang barangkali adalah kemampuan untuk menggelorakan lapangan sastra, wilayah yang sering diabaikan dunia politik Indonesia selama beberapa dasawarsa terakhir, sejak Orde Baru hingga kini. Salah satu partai pada Orde Lama yang paling giat di lapangan sastra itu adalah Partai Komunis Indonesia.

PKI percaya bahwa sastra mampu menggerakkan massa untuk mendukung partai. D. N. Aidit secara khusus berkata, “sastra harus kita rebut!”. Bagi PKI, dengan sastra massa dapat direngkuh lebih banyak. Kepercayaan yang juga hampir sama sekali tidak dimiliki nyaris semua partai politik kita hari ini.

Ada dua momentum penting yang disediakan PKI untuk  sastra: 17 Oktober &  23 Mei. Yang pertama, hari ulang tahun revolusi Bolshevik, yang kedua hari ulang tahun Partai Komunis Indonesia. Pada dua momentum itu, karya-karya sastra diterbitkan dan dirayakan dalam suasana yang hiruk-pikuk.

Pada 17 Oktober 1959, misalnya, beberapa novel terjemahan diterbitkan. Salah satunya, Kisah Manusia Sedjati karya novelis Soviet, Boris Polewoi, yang diterjemahkan Pramoedya Ananta Toer. Novel ini, sebagaimana tercatat pada halaman pembuka, “diterbitkan untuk memperingati hari ulang tahun Revolusi Sosialis October Besar”. Novel ini, terlepas dari tendensi ideologisnya, adalah sebuah novel yang menarik. Menantang dari segi alur, dan lihai memainkan karakter tokoh. Tokohnya, Alexei Meresjev, seorang prajurit penerbang angkatan udara Soviet dalam perang dunia kedua, yang pesawatnya jatuh di wilayah Jerman. Novel ini adalah petualangan sang tokoh, yang dalam novel itu disebut “manusia Soviet sedjati”, untuk kembali dengan selamat ke negerinya. Alexei menjadi prototipe kesetiaan dan keberanian seorang komunis, garis yang paralel dengan semangat partai komunis Indonesia sendiri.

Pada ulang tahun PKI 23 Mei 1962, diterbitkan pula sebuah buku kumpulan puisi, Partai dalam Puisi, yang memuat sajak-sajak hampir seluruh elit-elit partai ini. DN. Aidit, Nyoto, Sudisman, dan sajak-sajak Agas Wispi, penyair Lekra yang paling potensial dapat dibaca di buku ini. Sajak-sajak yang berbicara tentang Ketua Aidit dengan mata berkaca-kaca penuh takjub, ode untuk Mao yang perkasa menjungkangkan daulat setan-setan kota, puji-pujian terhadap Soviet dengan kota Stalinraad yang terkenal, atau tentang kongres-kongres partai yang membicarakan rakyat yang lapar dengan berapi-api. Sajak-sajak yang jelas bernafaskan ideologi partai. Namun, apa pun itu, untuk tujuan apa pun sastra diperuntukkan, yang jelas, tidak kita temukan sampai hari ini partai di Indonesia yang melakukan hal yang serupa: penghormatan yang sedemikian besar terhadap sastra. Terlepas, apakah sastra itu dijadikan alat propaganda atau membiarkannya murni sebagai bagian dari ranah estetika belaka.

Tulisan ini tidak bermaksud hendak mengatakan bahwa kita sekarang berpolitik harus menuruti cara-cara PKI—merengkuh sastra untuk merengkuh massa. Tetapi yang hendak saya maksudkan adalah PKI pernah punya tradisi sastra yang kuat, sehingga punya imbas positif pada bahasa-bahasa dalam politik yang mereka gunakan; bahasa-bahasa politik mereka punya daya gudah, punya daya gedor, punya daya ‘bakar’ yang mampu menggerakkan massa. Pidato-pidato elite-elite komunis juga hampir seluruhnya memukau pendengarnya. Pamlet-pamlet yang mereka buat, brosus-brosur politik yang mereka sebarkan punya daya tikamnya sendiri. Itu semua jelas dimungkinkan karena kemampuan berbahasa-sastrawi yang mereka miliki. Kemampuan itu jelas tidak akan terwujud dengan sendirinya jika tradisi bersastra dan berbahasa yang baik tidak ditumbuhkembangkan dalam partai itu sendiri,  salah satunya misalnya lewat penerbitan-penerbitan karya sastra sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

Kecendrungan di atas jelas kontras dengan dunia politik kita dewasa ini. Para politikus seperti tidak punya tradisi berbahasa dan bersastra yang memadai. Pada baliho-baliho para caleg yang ramai di musim politik sekarang ini misalnya, akan tergambar jelas dugaan-dugaan itu, bahwa terjadi ‘kemandekan’ dalam bahasa-bahasa yang mereka pakai. Bahasa-bahasa politik mereka hanya seperti batu yang tenggelam begitu saja jika dilemparkan ke dalam air, tidak mampu berkecipak sedikitpun dalam sanubari orang banyak. Jangankan untuk mengetengahkan bahasa-bahasa yang menggerakkan hati sanubari itu, jika ditelik persoalan tata bahasa yang paling dasar saja terlihat banyak yang tidak berkeruncingan, melanggar kaidah berbahasa. Ini jelas sekali menunjukkan orang-orang yang hendak atau telah berkecimpung dalam politik praktis itu tidak punya tradisi berbahasa yang baik dan benar selama ini. Berbahasa yang baik dan benar saja belum, apalagi untuk sampai pada berbahasa yang indah atau sastrawi—yang mengandung ‘rasa’ di dalamnya.

Tidak saja pada baliho-baliho dan pamplet, pada iklan-iklan di televisi dan radio bahasa yang digunakan juga adalah bahasa-bahasa yang latah, bahasa-bahasa yang sudah termumikan sebagai bahasa politik, sehingga terdengar klise jika harus diucapkan lagi. Tidak ada kesegaran, sehingga apa mau dikata, bahasa-bahasa para politikus itu kebanyakan adalah sampah bagi ruang hidup kita.

Di bulan-bulan politik seperti sekarang, barangkali mulai terasa berguna tradisi bersastra yang selama ini diabaikan dalam dunia politik kita. Tetapi apa mau dikata, kita sudah lama tidak percaya pada kekuatan kata. Bahwa kata, juga seperti makhluk hidup, mesti ditiupkan ruh agar bisa bernyawa, agar dapat punya jiwa. Dan kata yang berjiwa pulalah yang mampu menggerakkan jiwa. Namun, kita telah terbiasa menganggap kata adalah benda mati belaka. Maka, beginilah jadinya, kata-kata hampalah yang berhampuran mengisi paru-paru kita setiap harinya.

Padang, 2014-02-20

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini