Amir Hamzah, Revolusi, dan Mati
Oleh Deddy Arsya
Bulan Maret adalah bulan kematian Amir Hamzah. Penyair Langkat itu, bangsawan tanah Melayu itu, mati dengan cara yang sulit dibayangkan ketika kita membaca sebagian besar sajak-sajaknya yang lembut, tenang, lagi jenih bagai air mengalir di pegunungan.
Namun, kematian Amir Hamzah yang mengibakan hati itu telah ‘diramalkan’ jauh-jauh masa dalam beberapa sajaknya yang bersuasana berbeda, ‘kelam dan mencekam’, yang memang hanya sedikit jumlahnya.
(1)
Tidak tahu persisnya bagaimana Amir Hamzah mati. Ditembakkah dia? Diceburkan ke dalam rawa hitam? Atau dipukuli sampai tak bernyawa? Sejarah tidak bisa menjelaskan sedetil itu. Tapi untuk apa pula gunanya itu kita ketahui? Yang jelas, sekelompok orang menyerang istana Sultan Langkat. Membunuh hampir seluruh penghuninya. Sepanjang 19-20 Maret, menurut sejarawan Anthony Reid, ada 38 bangsawan Langkat yang dibunuh. Salah seorang di antaranya adalah Tengku Amir Hamzah.
Elite-elite kerajaan, bangsawan-bangsawan Melayu, selama puluhan tahun telah menangguk kekayaan dari berkuasanya Belanda di atas tanah mereka. Mereka dianggap akan lebih berbahagia jika Belanda kembali berkuasa ketimbang Indonesia merdeka. Untuk itu, mereka harus ‘dilenyapkan’. Dalam revolusi, kawan dan lawan mesti dibikin jelas, untuk kemudian ditebas.
Tetapi Amir Hamzah lain. Meskipun keturunan raja, dia tidak pernah memperlihatkan sikap feodal. Kesadaran kebangsaan dan kerakyatan Amir Hamzah terepresentasi dari lingkungan pergaulannya, juga dari pekerjaan tambahannya sebagai pengajar di Perguruan Rakyat di Jakarta, lembaga pendidikan yang merupakan bagian dari Taman Siswa. Bersama beberapa orang rekannya di Perguruan Rakyat, temasuk Soemanang, Soegiarti, Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, dan lainnya, Amir Hamzah menggagas penerbitan majalah Poedjangga Baroe—majalah yang menjadi salah satu tonggak dalam sejarah sastra Indonesia.
Namun revolusi, bagai arus besar bah, dapat menggulung siapa saja tanpa pandang bulu. Itulah kenapa, barangkali, ulama kaum Sunni lebih menyetujui “seribu tahun di bawah penguasa tiran lebih baik dari pada satu hari kekacauan (revolusi)”. Hanya, kadang, yang tidak diperhitungkan si pembuat adigium: satu hari kekacauan itulah yang mampu mengubah sebuah bangsa secara mendasar, apa yang belum tentu dapat diperbuat seribu tahun masa tenang, apalagi di bawah kuasa tiran pula. Tanpa satu hari kekacauan itu Indonesia bisa jadi tak akan merdeka—tetapi sejarah bukan soal andai-andai. Dan Amir Hamzah, dikorbankan, atau menjadi korban dari arus zaman yang memang sulit ditebak itu. Bagaimana menebak arus bah?
(2)
Tapi mati bukan soal yang asing bagi Amir Hamzah. Puluhan tahun sebelum revolusi merenggutkan dia dari kita, Amir Hamzah telah bicara tentang mati dalam sajak-sajaknya, seolah-olah mati sesuatu yang dekat lagi akrab. "tiada dunia tempat selama", tulis Amir Hamzah dalam sebuah sajak berjudul “Astana Rela” yang ditulisnya pada 1930an.
Buku kumpulan sajak yang memuat sajak itu, Nyanyi Sunyi, dianggap puncak pencapaian kreatif Amir Hamzah sebagai penyair, juga menjadi salah satu puncak bagi sejarah kepenyairan Indonesia modern kemudian. Antologi puisi Nyanyi Sunyi ini pula menjadi awal bagi sajak-sajaknya setelah itu yang membahasakan kesunyian.
Sebagaimana telah saya sebut di awal, bahasa sajak Amir Hamzah idak ramai sebagaimana watak bangsawan Melayu itu sendiri, yang kalem, yang bersahaja. Tetapi terkadang sajak-sajak Amir Hamzah juga bisa menerjang beberapa kelokan. Sajak-sajaknya kebanyakan adalah sajak-sajak yang lembut dengan bahasa sejernih sungai, tetapi ada juga beberapa sajaknya yang ‘kelam dan mencekam’. Untuk yang terakhir ini, lihatlah misalnya: “Tahu aku/kini hari menuai api/mengetam ancam membelam redam/ditulis dilukis jari tanganku”, tulis Amir Hamzah dalam sajak "Hari Menuai" pada kumpulan yang sama.
Dalam sajak di atas, Amir Hamzah seperti telah meramalkan sebuah revolusi akan datang di ujung hidupnya, merenggutnya hidupnya. “Tahu aku/kini hari menuai api/mengetam ancam membelam redam”, tulisnya kira-kira tahun 1930an itu. Gambaran suasana dalam sajak itu terasa merepresentasikan suasana revolusi di Sumatera Timur pada 1946 belaka—belasan tahun kemudian setelah sajak itu ditulis.
Gambaran ‘kelam dan mencekam’ serupa itu juga akan ditemukan dalam beberapa sajak lain. “Di Dalam Kelam”, misalnya, dari judulnya telah terlihat suasana yang hendak dibangun seluruh tubuh sajak. Semakin terlihat, sajak ini menggambarkan apa yang akan dialami sekujur tanah Melayu di Sumatera Timur dalam amuk revolusi. Seperti disebut sejarah, revolusi di Sumatera Timur adalah revolusi yang ‘sempurna’ dalam pengertian yang buruk. Kekuasaan lama ditebas habis dengan cara yang kejam: pembantaian, pembakaran, apa yang digambarkan Amir Hamzah sebagai “terbuka neraka di lapangan swarga”. Api permusuhan diledakkan di mana-mana, “pokok percaya” hilang-lenyap ditelan kecurigaan antar faksi, “Murtad merentak melaut topan”, tulis Amir Hamzah.
Saya kutipkan sajak “Di Dalam Kelam” utuh-seluruh:
Kembali lagi marak-semarak
jilat melonjak api penyuci
dalam hatiku tumbuh jahanam
terbuka neraka di lapangan swarga
Api melambai melengkung lurus
merunta ria melidah belah
menghangus debu mengitam belam
buah tenaga bunga suwarga
Hati firdausi segera sentosa
Murtad merentak melaut topan
Naik kabut mengarang awan
menghalang cuaca nokta utama
Berjalan aku di dalam kelam
terus lurus moal berhenti
jantung dilebur dalam jahanam
kerongkong hangus kering peteri.
Meminta aku kekasihku sayang;
turunkan hujan embun rahmatmu
biar padam api membelam
semoga pulih pokok percayaku.
Namun, sajak Amir Hamzah yang paling jelas mengutarakan pandangannya mengenai mati adalah sebuah sajak yang kira-kira ditulis tahun 1933 atau mungkin tahun 1937 (sajak-sajak Amir Hamzah memang tak satu pun memuat keterangan waktu): “Padamu Jua”, sajak yang terkenal itu.
Habis kikis
segala cintaku hilang terbang
pulang kembali aku padamu
seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
pelita jendela di malam gelap
melambai pulang perlahan
sabar, setia selalu.
Satu kekasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa.
Di mana engkau
rupa tiada
suara sayup
hanya kata merangkai hati
Kasihmu sunyi
menunggu seorang diri
lalu waktu - bukan giliranku
mati hari - bukan kawanku...
Sajak ini, berbeda dengan beberapa sajak ‘kelam & mencekam’ di atas, terasa lebih sunyi menggambarkan mati. Manusia individual berhadap-hadapan dengan Tuhannya begitu dekat dan akrab dalam sajak ini. Tuhan, atau barangkali juga ajal, digambarkannya sebagai ‘kekasih’, yang didamba, yang dirindu, yang dicinta tentu saja. Dan ‘aku’ terlihat lebih siap dengan kematiannya di sini. Tidak ada ‘sorak-sorai’ revolusi digambarkan, tidak ada kematian di tengah suasana hiduk-pikuk, yang ada hanya ‘kasihmu sunyi’ yang menunggu seorang diri. Tidak ada ketakutan, yang ada kerinduan.
Amir Hamzah mungkin lebih memilih mati dengan cara serupa itu. Seorang-seorang dengan ajal. Tetapi gerak sejarah memberinya takdir lain. Ajalnya direnggut dalam sorak-sorai dan huru-hara. Waktu memang bukan giliran Amir Hamzah lagi, dan matahari juga sudah bukan kawannya lagi. Sebuah revolusi telah merenggutkannya dari kita secara kejam—hingga orang lebih ingin lupa pada peristiwa itu daripada terus mengingatnya.
Semoga penyair kita ini bertemu rupa Tuhan di dunia yang ‘di sana’. Amin.
Padang, 2014



Comments
Post a Comment