Transaksional Puitik (Buku Puisi ‘Odong-Odong Fort de Kock’ Karya Deddy Arsya)

Oleh Esha Tegar Putra

Saya menunggu waktu tepat untuk menulis catatan tentang puisi-puisi Deddy Arsya. Sejak buku puisinya Odong-odong Fort de Kock (Kabarita, Mei 2013), terbit dan diluncurkan dengan menghadirkan visualisasi, musik, serta pembacaan fragmen-fragmen dalam buku tersebut. Saya menunggu. Hingga beberapa saat setelah itu, Deddy Arsya menyatakan pada saya bahwa: “puisi terbaru saya berobah, saya menulis di ruang yang sudah berbeda…”.

Dan saya merasa waktunya sudah tepat untuk menuliskan catatan ini. Meski dalam pembacaan saya, Odong-odong Fort de Kock (OoFdK) tidak sepenuhnya mewakili perjalanan kepenyairan Deddy Arsya beberapa tahun belakangan. Tapi sebagian besar dari 63 puisi dalam buku tersebut bisa menghantarkan untuk melihat pola perubahan yang dimaksud Deddy Arsya. Pola perubahan yang terjaga, pola perubahan yang mungkin sebenarnya sudah ia sadari dari lama, namun baru ia ungkapkan. Barangkali semacam gerak transaksional puitik—model analisis komunikasi dimana seseorang menempatkan dirinya menurut posisi psikologi yg berbeda, dalam transaksional yang dipertukarkan adalah pesan-pesan, baik verbal maupun non verbal.

Apa yang berubah dalam puisi Deddy Arsya? Ini tidak mesti dijawab dengan tergesa. Karena puisi yang ia katakan berubah tersebut belum sempat saya baca. Hanya saja, selayaknya takdir penyair dan puisinya, saya merasa ia kini seakan sudah masuk dalam alur skenario besar dalam puisi-puisi yang sengaja atau tidak ditulisnya. Seperti salah-satu puisinya dalam Odong-odong Fort de Kock berjudul “Anjing yang Tak Menyalak” (hal.55), dan ia menerima itu sebagai jalan kepenyairan: …aku akan beristri/ petani seledri habis hari raya ini. Kami akan harum/ sepanjang tahun, kami berbunga di musim apapun./ anak-anak kami dari kulit kayu, cendawan tak beracun,/ dan rintik hujan. Rumah kami cangkang kura-kura,/ kepak hulu dan diam muara, sunyi daratan dan riuh ombak.

Rentang tahun 2005 hingga 2013—pembacaan saya terbatas rentang ini—banyak sudah pola perubahan puitik yang dilakukan Deddy Arsya. Suatu kali ia membuat puisi seperti gumam traumatik masa-lalu, seakan memasuki ruang nightmare. Setiap baris gumam tersebut dibingkai seluruhnya melalui tanda baca (tanda petik; “”). Tanda baca yang dalam tata bahasa tidak berhubungan langsung dengan fonem, kata, atau frasa, melainkan berperan untuk menunjukkan struktur dan organisasi tulisan tersebut menjadi bagian terpenting bahkan serasa ingin mengakuisisi seluruh bagian puisi.

Lihat saja puisi “Anak Ayah” (hal.22), melalui citraan-citraan “ayah seorang ksatria berpedang panjang”, “ayah telah memutuskan bunuh diri di suatu rembang”, “ayah merasuki tubuh seekor anjing peburu”, “ayah seekor naga merah pada lukisan di dinding kamar ibu”, “ayah layang-layang bergoyang di langit lapang”, atau “aku hidup dalam kematian ayahku”, semua ini seperti mimpi buruk (nightmare) yang membuat anak-anak terjaga dan tidak bisa mengungkapkan apa-apa—kecuali dengan gumaman atau visualisasi dalam coretan gambar.

Jika pada puisi “Anak Ayah”, Deddy Arsya melalui aku-lirik banyak berkisah tentang ayah, dalam puisi “Toko Serba Lima Ribu” (hal. 24-25) aku-lirik mengambil peran menjadi materi gajil di dalam ruang nightmare yang dibangun dari unsur orang kedua tunggal. Selain itu, aku juga menjadikan ibunya, ayahnya, pacarnya dalam materi ketakutan tersebut. /Aku masuki dirimu seperti memasuki toko serba lima/ ribu. aku set mainan anak-anak, tusuk gigi, dan satu/ pak pengorek telinga. Ibuku boneka hiu gergaji, ayahku/ kampak bermata dua…// aku membawa pacarku ke dalam dirimu suatu petang,/ berbelanja boneka anjing bermata besar dengan uang pas-/ pasan, dan menemukan tulang rusukku di antara gigi/ depannya yang runcing… Kecuali dalam mimpi buruk, atau dalam film horor, dimanakah puisi yang bagunannya dihadirkan lewat struktur tanda petik ini bisa ditemui citraannya?

Selain tiga puisi di atas, ada tiga puisi Deddy Arsya dengan pola serupa di dalam OoFdK: “Cangkang Hijau Daun” (hal.33), “Pertengkaran Semalam Suntuk” (hal.50-51), dan “Anjing Peburu” (hal.52). Jelaslah dalam keenam puisi dengan struktur yang dibangun melalui pola tanda petik itu dibuat dalam situasi yang sama. Meski satu di antaranya, puisi “Cangkang Hijau Daun” tidak terlalu memperlihatkan penggalian dari ruang nightmare, “Pertengkaran Semalam Suntuk” dan “Anjing Peburu” masih memperlihatkan pola serupa: “ayahmu ikan besar bersirip tajam”, “kenapa batuk ibuku berdarah?”, “tetapi yang terseret mata kail itu: ibuku!”, “Aku bayangan anjing hitam di tepi danau itu”, “hantu apa yang kau pelihara hingga terjaga sepanjang malam?”.

Geopuisi dan Perpindahan

Puisi-puisi dengan tanda petik, salah satu strategi perubahan puitik yang terjaga dilakukannya, dan itu tidak lama. Puisi-puisi tersebut disadarinya tidak teratur, dalam artian ia tidak sekali memakai pola kaidah tata bahasa yang benar dengan keseluruhan strukturnya dibentuk dari huruf kecil—meski sesekali penyair bisa bersandar pada licentia poetica. Perubahan ini mutlak dilakukannya, barangkali untuk menjaga agar tidak mencapai titik jenuh dari pola perpuisian yang sebelumnya. Saya mengatakan itu disadarinya, karena Deddy Arsya selain penulis puisi, ia juga menulis prosa dan esai dalam kapasitas yang bagus dan ia paham mengenai tata bahasa.

Mengenai perubahan yang dimaksud Deddy Arsya, saya teringat bagian dari surat Rilke kepada Kappus, bagian dari surat-surat kepada penyair muda di bagian ke-delapan yang menyatakan bahwa kesunyian secara fundamental bukanlah sesuatu yang bisa dipilih dan diulang seseorang. Kita soliter, kata Rilke, kita bisa menipu diri sendiri tentang kesunyian dan bertindak seolah-olah kesendirian itu tidak benar. Saya sadar, perpindahan proses kreatif secara geografis yang dijalani Deddy Arsya tentu mendatangkan anasir-anasir yang berbeda dari yang sebelumnya ia alami.

Ia menyadari betul, sebelumnya, struktur geopuisi (meminjam istilah Afrizal Malna dalam penghantar OoFdK) yang sejauh ini hanya ia alami secara batin kini ia iringi dengan tubuh. Secara proses kreatif Deddy Arsya berpindah dari daerah Pesisir Barat ke daerah ketinggian darek Minangkabau. Barangkali sebagian besar penelaah terkadang mengabaikan dan tidak mau membaca persoalan proses kreatif di dalam membahas puisi, tapi dalam pola perubahan puitik, seperti pengalaman Deddy Arsya ini menjadi bagian penting. Ia melakukan transaksional dengan diksi-diksi yang muncul dari suasana alam berbeda dan sebelumnya diterawangnya dari literartur sejarah yang ia dalami.

“Truk Pasir Masuk Kota” (hal.5), “Ratap Kapal Karam” (hal.16), “Samsinar Pulang dari Pasar” (hal.17), “Rosnida Mencari Laki (hal.18), “Pasir Painan” (hal.26-27), “Salido Emas Suasa” (hal.29), “Tukang Obat di Pasar Kambang” (hal.70), tubuh dari puisi-puisi tersebut mulai berjarak darinya dan ia mulai menjelajahi jauh ke dalam puisi-puisi bertajuk “Sajak Untuk Haji Miskin” (hal.12), “Odong-odong Fort de Kock” (hal.42), “Singgalang Gula tebu” (hal.58), “Truk Pembawa Kapas Lewat di Silungkang” (hal.60), “Kami Membawa Seledri ke Pekanbaru” (hal.77), “Haji Miskin dan Istriku” (hal.78).

Satu puisi lain yang menekankan pola perubahan proses puitik Deddy Arsya tersebut sudah dibahasahannya melalui “Orang Darat” (hal.32): aku orang darat dan akan selamanya begitu/ —mungkin orang bukit yang lelah mendaki// perempuanku berbau gardamunggu, dan tak lain/ —getah peramu, hijau lumut di mejan lama,/ wangi tawas, lendir kakao, juga masam daging pala// tentang hiu-hiu di hilir rusukmu, atau apalah itu/ padamu kukata: di bilik lain akan kutikam ombak/. Ada kesadaran bahwasanya ritme kepenyairan tersebut akan berubah. Sejauh ini pola kultural alam Minangkabau antara ‘darek’ dan ‘pesisir’ dalam sajak dikuasai sebagian besar oleh aroma alam dalam diksi pesisir. Kini berbalik arah. Deddy menyatakan dalam sajak tersebut bahwa ia kini di ‘darek’ dan ada kalanya di bilik lain untuk membahasakan pesisir.

Dari puisi “Orang Darat”, sebuah pernyataan jujur dari migrasi proses kreatif saya membayangkan apa yang diruliskan Rilke itu dialami oleh Deddy Arsya. Seakan, batas yang terbiasa dipandang oleh mata kita diambil dari kita, tak ada lagi sesuatu yang dekat dengan kita, dan segala sesuatu yang jauh adalah jauh secara tak terbatas. “Seorang manusia diculik dari kamarnya”, kata Rilke, “hampir tanpa persiapan ataupun peralihan, di taruh di ketinggian dari rangkaian pegunungan, akan merasakan sesuatu yang seperti itu: ketidak amanan yang setara, keterpencilan tanpa nama.” Tapi ada perbedaan dengan Deddy, melalui puisi-puisinya ia seakan telah melakukan persiapan, meski keggapan puitik itu tetap dirasakannya dengan istilah ‘perubahan’ dalam proses pencarian dan peciptaan.

Deddy Arsya bukan seperti kaum konservatif yang memandang nilai-nilai puisi (atau seni) tidak bergerak dan harus bertahan sebagaimana adanya. Ia menerima proses dialektik yang terjadi meski proses tersebut datang dari luar dirinya. Baginya, puisi bukan semacam lisensi-lisensi ruang penciptaan yang melulu bersembunyi dalam kegamangan. Ia berpindah, bermigrasi, bukan lagi pengembaraan puitik namun pengembaraan tubuh ‘si penyair’ dari Padang ke Pandai Sikek. Dari hari-hari yang bergaram ke suasana ketinggian yang dingin. Dan Deddy Arsya pun merasa ada yang berubah dari prosesnya.

Sesekali, pada sebuah pertemuan dengan saya ia menyatakan bahwa ia merawat sepetak ladang milik kaum (istrinya) yang sudah tidak terawat lagi dikarenakan pola bertani orang di sana berbeda. Pagi sekali ia harus bangun, duduk di kedai minum kopi, sembahyang ke mesjid, hampir tiap hari berjalan ke ladang. Pola bertani yang buruk, katanya, terkadang membuat kita terlena karena kita akan terus merasa bahwa hidup bisa seadanya saja. Ada yang asyik dari itu, ia ke ladang dan tetap memerhatikan Haji Miskin—sebuah pondok pesantren yang berada di lingkungan Pandai Sikek—dalam puisi “Haji Miskin dan Istriku” (hal.78): Haji Miskin nyenyak tertidur dalam kuburnya/ aku datangi dia sebelum dia bangun dan membakar seluruh kota/…”Wak, Wak, api yang membumbung dalam dirimu/ apakah sudah padam?// istriku membungkus nasi untukku seolah-olah aku ini/ pekerja keras, seperti seorang peladang yang pagi-pagi/ sekali pergi bekerja dan baru pulang hari petang…

Pernyataan Afrizal

Prasangka-prasangka puitik dihadirkan Afrizal Malna dalam kerja personifikasi aku-lirik puisi Deddy Arsya dalam OoFdK. Afrizal Malna membandingkan biodata, angka pada tahun, dan seakan menemukan dirinya sendiri (yang telah berlalu). Ia menyatakan kerja pembacaan penyair terhadap penyair adalah laku yang baik, tapi juga berbahaya, dikarenakan kecurigaan-kecurigaan puitik tersebut akan menghancurkan kerja kreatif penyair yang dibacanya.

Tapi Afrizal Malna sendiri mengakui, kerja tersebut terselamatkan, barangkali perasangka-prasangka tersebut tertuda karena ruang lain yang ditawarkan geopuisi Deddy Arsya. Setidaknya itu dituliskan Afrizal Malna dalam pembacaanya terhadap puisi OoFdK yang berjarak 30 tahun dari data biologis kelahiran dua penyair tesebut. Afrizal Malna barangkali bercuriga terhadap gerak permainan puitik Deddy Arsya, barangkali ia menemukan jaring-jaring visual (yang dimaksud Afrizal Malna) sebagai miliknya. Tetapi ternyata tidak, Afrizal Malna lahir dari masyarakat urban yang melihat sebagian besar gejala sosial sebagai bentuk visualisasi. Sedang Deddy Arsya, dalam puisinya, gejala sosial itu hadir dalam jaring-jaring masyarakat tradisi lisan yang masih bersitegang dalam struktur gramatikal bahasa ibunya (Minangkabau).

Tidak berarti, dalam pola perubahan puisi Deddy Arsya, dalam prosesnya mengabaikan begitu saja ke-kini-an. Ia, lewat puisi terus bergerak, lewat pembaharuan pikiran. Malahan sedikit ekstrim. Jika puisi-puisi Afrizal Malna bergerak dari posisinya yang kehilangan tradisi, generasi yang tercerabut dari akarnya—sehingga puisi-puisi tersebut bergerak seperti rentetan jaring-jaring visualisasi absurd—Deddy Arsya malah menyebut bahwa gerak puisi adalah dari ironi ke ironi. Jika puisi Afrizal Malna seperti permainan lego dari plastik, ia bisa dibentuk membesar dan membusut tanpa menghilangkan kekuatannya, puisi Deddy Arsya barangkali hanya mainan dari pelepah pisang yang juga bisa dibentuk seperti apa saja—namun ia dipotong dari sesuatu yang jelas tumbuh dan berakar. Aku-lirik puisi-puisi Deddy Arsya kagum pada modernitas, kagum sekaligus gagap (seperti orang-orang di negara dunia ketiga pasca-kolonialisme), tapi tidak sentimen.

Dunia pasca-kolonialisme, kata Deddy Arsya dalam sebuah catatan, peta-peta lama digantikan peta-peta baru. Manusia dibuat gagap pada kekinian, pada masa depan dan masa silamnya sekaligus, manusia-manusia dari bekas negeri jajahan. Lihatlah puisi “Kuda Bawah Tanah” (hal.37), Deddy Arsya seakan gagap ‘menjilat-jilat eskrim rasa vanila’ seakan orang yang sekali-sekali bertemu eskrim, dan asing dengan vanila. Tapi pada puisi itu ia dengan sigap dan gagah menuliskan umapatan sarkas dalam bahasa Minangkabau: Jakarta pantek ini menelan bensin berjuta-juta galon.

Perubahan proses puitik yang dimaksud Deddy Arsya kini, bisa jadi seperti menyusun “Peta-peta yang Berantakan” (hal.76) sebab ‘ada jalan yang tak bisa lagi aku sampai ke sana’. Ia masih menunjukkan lewat puisi apakah pola migrasi dalam proses kreatif itu akan mengubah segalanya, seperti “Nama-nama Kota dalam Sajak” (hal.71): ….Maka berapa lama nama-nama/ kota itu bertahan dalam sajak? Jika mereka simpul yang sentak,/ barangkali usianya tak lebih dari/ letih terbang bangau sebelum kembali ke kubangan…

OoFdk seakan sudah menunjukkan bahwa kegelisahan Deddy Arsya atas perubahan puitik tersebut sudah dipersiapkan jauh hari. Migrasi memang bukan lagi sekedar petualangan pikiran lewat buku-buku atau perjalanan singkat, lebih dari itu, usaha menemukan bentuk yang baru. Dan setahu saya, dalam proses pembacaan saya,—dan sudah berkali saya katakan di atas—Deddy Arsya sadar, menerima, serta mengikuti ritme perubahan struktur dalam puisi: baik semantik (makna) atau sintaksis (prinsip).

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini