Api, api, api!

Kebakaran, api, si jago merah, menjadi masalah dalam banyak kurun. Dunia kita sekarang diteror oleh kehadirannya. Orang berjaga-jaga akan amuknya. Seperti air, api dinasehatkan sebagai ‘kecil jadi kawan, besar jadi lawan’.  Ia sumber bencana. Jika kita buka perbendaharaan lama, akan kita temukan banyak sekali keterangan-keterangan tentang amuk api ini. Tetapi bagaimana bencana kebakaran ini dicegah dan ditanggulangi di masa lalu, dan bagaimana pula para korban bencana ini ‘diselamatkan’ dari kemalangannya?

Masyarakat kebudayaan kayu, di mana nyaris seluruh bangunannya terbuat dari kayu, sangat rentan mengalami bencana ini. Orang-orang Minangkabau menyebutnya ‘si gulambai’. Entah kenapa begitu. Penyebab kebakaran hanya dua: terbakar atau dibakar, sengaja atau tidak sengaja. Perbuatan membakar kadang dikategorikan sebagai kejahatan, dalam bahasa hukum adat disebut ‘siar-bakar’, membakar harta orang lain dengan sengaja sampai habis atau tidak. Di periode Padri, siar-bakar ini jamak ditemui. Kampung-kampung adat dan kampung-kampung Padri dibakar pihak yang berseberangan. Bahkan kompleks istana Pagaruyung juga dibakar pada periode ini.

Sementara terbakar, kadang-kadang karena ditembak petir. Rumah-rumah gadang memiliki tanduk yang tinggi menjulang langit, sehingga mudah disambar petir. Tetapi lebih sering karena api yang berasal dari dapur pada musim panas yang panjang. Rumah gadang yang terbuat dari kayu memungkinkannya mudah terbakar, apalagi pada nagari-nagari tua di daratan tinggi yang permukimannya padat. Kebakaran menjadi salah satu sebab utama mengapa rumah gadang semakin sulit ditemukan di masa sekarang. Habis terbakar dan sulit membangunnya kembali karena kayu yang mahal.

 Kejadian-kejadian Kebakaran

Di Minangkabau, sepanjang tahun 1927-1929, terjadi beberapa kebakaran hebat. Pada kurun ini, sebagaimana dilaporkan suratkabar Tani, edisi Agustus 1929, terjadi kemarau panjang, “lama hari tidak hoedjan dan moesim panas lekas datang”. Disinyalir kebakaran-kebakaran ini disebabkan oleh kemarau panjang itu. Kelalaian akan api sedikit saja bisa memicu kebakaran besar.

Pada Desember 1927,misalnya, terjadi “Kebakaran besar di-Pajakoemboeh”. Nagari yang terbakar itu adalah Kota Nan Gadang. Kebakaran mengakibatkan “60 boeah roemah dan loemboeng-loemboeng padi jang penoeh (padi baroe poelang)” lenyap dalam sekejap.

Pada 15 Juli di tahun kemudian, terjadi kebakaran besar lagi, kali ini di Rao-rao Batusangkar. “Seratoes boeah roemah bersama-sama padi diloemboeng mendjadi aboe. Api moelai makan poekoel setengah doea belas sampai poekoel empat,” demikian dilaporkan Tani, edisi akhir Juli 1928.

Pada edisi berikutnya, suratkabar tersebut merinci jumlah korban dan kerugian dari kebakaran di Rao-rao tersebut: “44 boeah roemah adat; 38 boeah roemah biasa (gedoeng); 39 boeah rangkiang penoeh dengan padi +/- 65.000 gantang”.

Suratkabar yang sama melaporkan di edisi lainnya bahwa sepanjang 1927-1929, tercatat berturut-turut kebakaran terjadi, tidak hanya di Kota Nan Gadang (Payakumbuh) dan Rao-rao (Batusangkar) yang telah disebutkan, namun juga melanda Koto Tuo dan Baso (Bukittinggi), Tamiaiy (Kerinci) dan Benai (Teluk Kuantan).

 Soal-soal Penanganan Korban

Pada masa kolonial, tindakan pencegahan api dikhususkan untuk pasar-pasar. Tiap-tiap kompleks pasar diperlengkapi dengan lubang pintu ledeng saluran pembuang air yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan untuk menyemprot api. Tiap-tiap pemilik toko dan kedai diperintahkan pula oleh pemerintah kolonial untuk menyediakan pasir dan galah-galah panjang untuk menghadang jika sewaktu-waktu bahaya kebakaran datang.

Sementara di kampung-kampung atau kota permukiman, nyaris tidak ada upaya semacam itu. Belum ada alat khusus yang disediakan dan petugas pemadam kebakaran yang ditunjuk serupa sekarang (bahkan pada tahun 1971, petugas pemadam kebakaran baru dibentuk dengan anggota 15 orang yang sama sekali belum terlatih, baru akan diterbangkan ke Jakarta untuk coaching). Kebakaran hanya dicegah secara sporadis saja oleh penduduk dengan beramai-ramai menyiram air pada yang terbakar. Untuk itu, nyaris tindakan itu tidak banyak dapat menolong.  Jika telah terbakar, sulit untuk menghentikan amuk api, karena bahan yang terbakar itu juga rata-rata terbuat dari kayu, di samping pada beberapa daerah permukiman sangatlah rapat, serta didukung musim kering yang panjang. Hanya orang-orang yang mendapat bencana (korban) itulah yang menjadi sasaran penyelamatan kemudian.

Setiap kali bencana kebakaran terjadi, berbagai pihak berpartisipasi meringankan beban korban. Suratkabar yang sama, misalnya, mengatakan prihatin terhadap nasib malang yang menimpa korban kebakaran. Mereka harus menderita kerugian besar, kehilangan rumah yang didirikan dengan susah-payah dengan “perhematan beberapa tahoen lamanja”, dan isi rumah itu yang dikumpulkan dalam masa yang panjang harus lenyap dalam sesaat. “Sedikit waktoe sadja soedah mendjadi aboe,” kata suratkabar itu. Selain itu, hilangnya hasil padi “boeat dimakan anak-beranak” telah memperburuk keadaan korban kebakaran. Kalau tidak dapat pertolongan, “tentoelah mereka itoe akan kelaparan”. Di tengah kondisi yang demikian buruk, “haroeslah mareka itoe dapat pertolongan hendaknja boeat sedikit waktoe.”

Dengan segala senang hati, suratkabar tersebut “meroeangkan tempat bagi toean-toean yang dermawan dan berhati rahim kepada mereka jang malang itoe.” Sejak pemberitaan itu muncul, suratkabar tersebut “moelai memboeka lijst derma”. Dalam daftar penyumbang itu, banyak juga yang telah ikut membantu korban kebakaran dengan angka sumbangan yang cukup besar. Pada penyumbang berasal dari lembaga dan perorangan. Sinar Sumatera, misalnya, menyumbang 2.50 gulden; De Volharding menyumbang jumlah yang sama; dan suratkabat Tani sendiri menyumbang 25 gulden. Ada juga penyumbang dengan nama perorangan (berupa inisial saja) dari Padang, Fort de Kock (Bukittinggi), dan Payakumbuh.

Di samping membuka kran sumbangan lewat suratkabar, pemerintah setempat memberlakukan beberapa kebijakan untuk meringankan beban korban kebakaran. Di antaranya adalah membebaskan korban kebakaran dari utang. Di Kota Nan Gadang, misalnya, “Pengoeroes-pengoeroes loemboeng desa di Kota Nan Gadang dari jang rendah sampai jang tinggi soedah mengambil kepoetoesan menghapoeskan segala oetang orang-orang jang ditimpa bahaja kebakaran itoe sama sekali”. Lumbung desa adalah semacam koperasi simpan-pinjam pada periode ini. Kebijakan pengurus koperasi itu dipuji oleh suratkabar yang sama: “Boekankah ketentoean loemboeng desa itoe soeatu jang haroes dipoeji dan dihargakan tinggi oleh kita semoeanja?”

Di Rao-rao, pemerintah setempat juga segera membentuk tim penanganan korban kebakaran, “satoe steuncomite boeat menolong orang-orang jang kebakaran”. Korban kebakaran di Rao-rao ini cukup banyak, jumlahnya mencapai 660 jiwa, “jang habis sekalian kepoenjaannja”. Para korban kebakaran ini “perloe ditolong makannja oentoek kira-kira 10 boelan, sementara menanti hasil padi tahoen dimoeka.” Untuk itu, komisi ini telah membeli “berpoeloeh-poeloeh pikoel beras” untuk dikirim ke Rao-rao. Namun, sekalipun telah dibentuk komisi, tetap dirasa perlu untuk mengharapkan bantuan dari seluruh orang Minangkabau. “Diharap sekalian sanak saudara di-Minangkabau ini akan membantoe banjak sedikitnja orang-orang yang melarat itoe. Boekankah amat sedih melihat seorang jang mampoe dalam sedikit waktoe sadja boleh mendjadi seorang melarat?” kata suratkabar yang sama pada edisi tahun berikutnya.

 Korban Melarat dengan Cepat

Kebakaran telah menyebabkan korbannya dengan cepat [seketika] jatuh melarat. Mengapa demikian itu terjadi?

Salah satu alasannya adalah karena jika kebakaran menimpa, kekayaan habis sama sekali. Bukan hanya rumah dan segala peralatannya, tetapi juga uang simpanan ikut lenyap. Korban kebakaran itu “banjak yang tinggal jang lekat dibadan sadja, sedangkan sebeloemnja kebakaran, ada mempoenjai oeang simpanan beratoes atau beriboe roepiah!”

Untuk itu, pada ketika itu disarankan agar masyarakat menyimpan uangnya di peti besi yang aman dari api. Selain itu, disarankan pula menyimpan uang di bank. Ketika itu telah ada beberapa bank yang terkemuka semisal Postspaarbaank, Volksbank Minangkabau, dan bank-bank lain.

Tradisi menyimpan uang pada bank memang belum menjadi bagian dari masyarakat Minangkabau ketika itu. Apalagi yang tinggal di kampung-kampung, belum terbiasa dengan kehadiran bank. Masyarakat biasa menyimpan uang dalam lipatan baju di lemari pakaian.  Maka jika kebakaran terjadi, maka lenyapnya semua harta yang dipunyai.

 Kebakaran dan Siasat Politik

Kita tinggalkan ‘kebakaran sebagai bencana’, kita masuki sedikit ‘kebakaran sebagai siasat kekuasaan’. Yang terakhir ini dominan di dunia kita sekarang. Untuk menata-ulang pasar, karena gagal mencapai kata sepakat dengan pedagang soal relokasi atau tidak ingin bersusah-susah membujuk pedagang untuk pindah sementara misalnya, tidak jarang pasar itu dibakar diam-diam pihak penguasa.

Siasat macam ini mungkin saja juga telah dijalankan pada masa Orde Baru. Sepanjang tahun 1970-1972, di antara 87 kali bencana yang terjadi di Sumatera Barat, 65 kali di antaranya disebabkan oleh api. Kebakaran pada umumnya terjadi di pasar-pasar dan kedai-kedai.

Sepanjang tahun itu, berturut-turut telah terbakar Pasar Mambo, Pasar Mudik, Pasar Gadang di Padang; sederetan toko dan kedai di Perhentian Bus Padangpanjang; Pasar Solok; Los Baro Pasar Bawah, 25 pintu toko di Kampung Cina Bukittinggi dan 848 petak toko dan kedai-kedai di Pasar Atas Bukittinggi.

Kebakaran yang terakhir disebutkan merupakan “malapetaka jang paling terbesar dan paling menjedihkan dalam sedjarah kebakaran jang pernah terdjadi di Sumatera,” demikian laporan majalah Aneka Minang edisi Agustus 1972.

Apa penyebab kebakaran-kebakaran besar itu?

“Hampir semua pejabat telah mengkwalifisir [?] musibah-musibah yang banyak terjadi di beberapa daerah kita akhir-akhir ini sebagai satu sabotase,” tulis majalah yang sama.

Lantas siapa yang menyabotase? Majalah itu juga melaporkan: “sejumlah besar pelakunya adalah bekas-bekas tapol yang baru saja dilepaskan.” Bahkan lebih jauh dituliskan, “bukan tidak mungkin tangan-tangan yang bersembunyi di balik api itu ialah sisa-sisa PKI.”

Memang perlu dilakukan peninjauan lebih dalam, betulkah siasat kekuasaan yang tengah berlangsung atau memang hanya soal bencana akibat kelalaian manusia? Jika yang pertama yang terjadi, pasar-pasar mungkin saja telah sengaja dibakar untuk hal yang telah disebutkan tadi, lalu di atasnya kemudian dibangun pusat perbelanjaan modern. Lalu pada saat yang sama, stigma buruk terhadap kaum komunis tetap dapat dipertahankan dengan menjadikan mereka sebagai kambing hitam atas kejahatan negara itu. Wallahu’alam.

Pandai Sikek, 2016

(Majalah GLOSARIA edisi November 2016)

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini