Kota-kota dalam Sajak

SALIDO EMAS SUASA

Emas urai dan emas batang, berapa harga sekilo bawang?

Kami hendak pergi mendirikan dangau arah ke hutan. Garam dan isi tiram, urat-urat pohon dan lada mersik, menunggui ini jalan siang dan malam. Akan lewat tuan-tuan dari Painan, ke muara kembali membawa kalian. Pedati tua dan saisnya buta.

Emas putih dan emas perunggu, sampai di mana batas menunggu?

Kami sudah membuat rakit dari tumbang pohon-pohon, hendak menepi-nepi mengiringi kapal besi tuan-tuan ini. Tampak selo-selo menjulang, rel-rel memuai dalam api, dan lori di atas kami betapalah tinggi.

Emas hitam dan emas suasa, ke mana arah tepi nasib pahit ini?

Berabad-abad kami menggali, tiba di batu memercik api, tiba di pasir menyerpih sepi. Kilau kami serupa daging pinang pemerah gigi, pewarna benang menyulam dirinya sendiri.

KOPI MUDA DARI AIRBANGIS

Di Airbangis karang-karang tajam menusuklunak lambung kapal lambung hiu. Terdampar kami jauh di Tiku, empat jam dari rumahmu, sebagai kopi muda dalam goni celaka, ada aku terbawa, tapi tak pernah sampai ke pekan raya.

Kami hijau kopi yang kayu-kayunya rebah arah ke Singkil,

ke pulau-pulau di tengah lautan, betapalah kecil. Jam malam di Natal dan lagu tuak arah ke Barus, terdengar sampai ke muara Ulakan,

tempat seorang syekh turun dari selembar lontar.

Ke Pariaman ia berburu, ke yang datar kami berguru. Dari jauh tampak saja jejakmu, dengan tanduk-tanduk patah dan tumpul. Lepaskan tajam siasatmu. Ke padang ajar, hai minyak kelapa dan beras baru, bersilang kayu, memerah bara, memercik air asam dari hulumu.

Tapi kami hanya kopi muda menguap di atas bara. Rusa dengan mata tombak di mata kaki terpanggang nyala api. Ke Airbangis, kembali, pecah lambung kapal selunak lambung hiu. Kipas kami dalam abu, dalam tajam lidahmu.

TUKANG PIKAT

Di atas pohon, burung-burung bertukar tempat hinggap,

kami tukang pikat kembali dengan sangkar yang kosong. Melingkar-lingkar jalan ke tengah pasar. Nasib pahit tersisih ke tepi. Jerat terpasang di antara merah langit dan malam hari.

Kami paruh patah dan sayap yang telah luruh. Hujan di langit sebentar akan jatuh. Kami tegakkan kepala dalam badai. Di hari begini terang kalian berjalan kami tak melihat. Melambai pohon-pohon di hutan, kami menuju pulau yang jauh.

Besok kami akan kembali, membawa tali dengan simpul yang rumit.

Jarak sekian depa apalah arti, sedang berjuta gelap telah kami lewati. Rumah bagi yang bertengger di udara ada dalam jerat ini. Nasib pahit bergoyang di antara buhul dan kebat. Antara lepas dan terikat.

PADI HAMPA

Di manakah lumbung bagi padi hampa?

Di bawah tikar jemuran atau di kandang sapi tetangga?

Jika kau kata "kami hanya padi hampa", aku kata: kau sekam di dasar api menyala, dedak makanan ayam dan air dari keruh bandar ini juga kulit daging sagu mengelupaskan matahari lembut jam lima pagi.

Di manakah lumbung bagi yang tak berisi?

Di antara kepala dan karung atau sebagai singgulung?

Jika kau kata "kami hanya selibu yang tinggal di tangkai", aku kata: kau yang beriak dalam udara yang tenang, kadang ada terbawa pulang, meski tak melebihi jenjang.

TELUR MATANG

Aku mencari jalan di rusuk rumah, tempat dirimu tak ada, bahkan pakaian basahmu tak bisa melihatku. Kuhindari tali jemuran, sumur, deheman di jendela, dan segala isyarat jalan kembali. Darahku tersirap tiap sebentar berkesiap, terbayang arah badai, arah ke mana diri kelak dikebat sansai.

Aku anak dagang sengsara, bujang malang tak punya tempat pulang. Jikapun ada, tempatku di tali jemuran itu saja, di halaman, bersorak doa celaka anak dagang:

pecah satu telur, pecah juga kandang!

Dan kelak, jika bumi berlipat ke awal, jari-jari mawar terbuka sampai ke tangkai. Di rusuk rumah itu, di antara derit katrol, dan gema punggung timba yang mengguap dari dasar sumur. Satu telur lagi akan matang:

satu telur lagi selalu siap untuk tak kembali!

SINGGALANG GULA TEBU

Wahai kerbau dengan mata tertutup, wahai engkau si mata parang, kami batang yang dipisahkan. Lewat bus dengan klakson yang panjang, membawa buah dan sayuran dari pegunungan.

Ikut aku satu gula hitam Singgalang,

setelah manis pergi tinggal sepah terbuang.

Kau tegak di pasar ramai tak kunjung usai, gelakmu hijau rimbun daun-daun. Aku sunyi akar-akar terpendam, air mata mendaki kening dengan tajam.

Singgalang gula tebu, yang manis ambil olehmu, sepahnya o biar tinggal pada kami.

NAMA-NAMA KOTA DALAM SAJAK

Nama-nama kota dalam sajak seperti tali berbuhul sentak, kami melepasnya untukmu yang jauh, bisa bergeser antara lupa dan ingat, yang pergi begitu lama dan pulang sekali saja.

Jika kota-kota berganti nama seperti berganti baju sebelum tidur, sajak ini akan melepaskan maknanya seperti kematian melepas jiwa.

Nama-nama kota dalam sajak seperti riwayat yang dipisahkan dari penuturnya. Seorang yang datang dari pantai, dengan ombak yang berpiuh dan berpilin, telah merentangkan tali yang berbuhul sentak yang terungkai dalam sekali renggut sekali sentak.

Berapa lama nama-nama kota itu bertahan dalam sajak?

Jika mereka simpul yang sentak, barangkali usianya tak lebih dari letih terbang bangau sebelum kembali ke kubangan.

Nama-nama kota dalam sajak bisa juga seperti gelembung

yang membubung ke permukaan sehabis kuat selam ikan-ikan. Dalam meletup mereka membawa harum lumut-lumut di dasar. Jika kota-kota lenyap dalam sajak sekali tarikan napas sekali hentak dalam meletuk, mereka mungkin hanya meninggalkan kematian yang sama sekali tak berbau.

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini