Nama "Indonesia"
Oleh Deddy Arsya
Pada tahun 1850, Earl menulis artikel berjudul “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations” ("Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu, Earl mengatakan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia. Earl menulis: "... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilangka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
James Richardson Logan, pada tahun yang sama, menulis sebuah artikel dengan tajuk “The Ethnology of the Indian Archipelago” ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada artikel itu, Logan, sebagaimana Earl, menyatakan perlunya nama khas pengganti istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") yang dianggapnya terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.
Maka untuk pertama kalinya kata ‘Indonesia’ muncul di dunia dalam tulisan Logan itu (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia): "Mr. Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"
Namun, menurut beberapa catatan yang diterjemahkan Anas Navis dalam sebuah artikel bertajuk "Asal Nama Indonesia dan Merdeka", sungguhpun nama Indonesia telah ditemukan sejak pertengahan abad ke-19 oleh orang asing, namun di zaman penjajahan, orang-orang Belanda enggan mendengar apalagi memakai nama itu. Mereka lebih suka memakai kata Inlanders, Inheemse (Bumi Putera) atau Bevolking van Nederlandsch Indie (penduduk Hindia Belanda) untuk menyebut orang-orang dari kepulauan Nusantara.
Tuan Kreemer dalam “Het Koloniaal Weekblad” tahun 1927, dikutip dari Anas Navis lagi, mengatakan bahwa nama Indonesia itu baru kemudian dianjurkan atau didorong pemakaiannya oleh orang-orang pergerakan komunis dan oleh ulah orang-orang pers. Pada Hari Sumpah Pemuda tahun 1928, Bangsa Indonesia menetapkan secara resmi pemakaian nama Indonesia. Namun, pihak pemerintah kolonial Belanda tetap menganggap pemakaian nama ‘Indonesia’ sebagai ilegal. Pada periode kolonial Belanda pula, misalnya, dalam sidang-sidang Volksraad (Dewan Rakyat) di Batavia, “anggota yang Belanda tidak menyukai wakil anak negeri memakai Bahasa Indonesia dan nama Indonesia sebagai pengganti Bahasa Belanda dan Hindia Belanda,” catat Anas Navis.
Barulah kemudian dalam Perjanjian Linggarjadi 1947 delegasi Belanda mau menerima pencantuman nama Indonesia pada perjanjian tersebut.
Comments
Post a Comment