Puisi-puisi di Koran Kompas, 20 Januari 2013

Pacu Sapi di Simabur 

Di kepalamu ada sapi-sapi besar bertanduk panjang 
Berlomba di medan pacuan 
Membawa karavan yang di atasnya 
Masa silam duduk sendirian dengan cemeti di tangan 
Sapi yang juga diarak dari masa silammu 
Orang-orang di sini memancung kepalanya dengan arit 
Mengubahnya menjadi sapi buntung masa kini yang berjalan ke 
depan 

Turis-turis dari Jepang membawa rombongan tukang foto ke sini 
Menggelar tenda di pinggir arena untuk menunggu momen penting: 
Ketika sapi-sapi itu berak atau terkencing beramai-ramai 
Mengangkat sebelah kaki untuk berkata ‘waw’ seperti anjing 

Di kepalamu ada sapi-sapi besar panjang bertanduk yang berpacu 
Di gelanggang berbau pesing yang sudah seperti jamban 
Karavan di atasnya telah lepas dari punggung 
Penunggang itu terlempar ke pinggir jalur pacuan 
Meninggalkan cemeti yang melecut-lecut dirinya sendiri 
Dan orang-orang di sini sepakat mengumpat: 

“Pantat, pantat, nomor empat pantat!” 

Dinda Petualang 

Fais memotret arca ke muara Batanghari 
Menulis tentang tembikar dan ukiran pada batu 
Untuk majalah traveling luar negeri 
Bodhisatva menyapanya, “Apa kabar, Dinda-petualang?” 
Anaknya merengek hampirsetiap malam 
“Abak, Abak!” memanggil-manggil dalam diam 
Rindu terkebat pada waktu 
Cemburu bersorak ke arah pintu 
Sementara musim lepas terus dari tampuknya 
Bagai orangtua pikun tersesat di kota besar 
Mambang di awan berputar-putar 
Fais memotret dari kapal yang berjalan ke depan 
Sementara bumi berputar ke belakang 

Ratap Kapal Karam 

Kapal karam 
menjelang ke Pulau Pandan 
padahal angin hanya diam 
dan langit tampak tak kusam 

Mungkin ada tenung 
berjalan pada lipatan gelombang 
barangkali sumpah 
dipesan perantara geram 

Laut tenang 
kalut dukamu 
membawa asin garam 
dalam pasang 
ke pantai-pantai 
panas berdengkang 

Nun jauh di tengah, 
paus hitam berjumbai putih 
duduk diam 
sendirian 

Laut tenang 
dalam deritamu 
kapal karam 
jadi 
silam 

Samsinar Pulang dari Pasar 

Samsinar pulang 
dari pasar 
pukul empat petang 
membawa santan 
berkebat serai 
dan rukuruku 

Untuk menggulai 
ikan macoaji 
tangkapan bagan 
nelayan Purus 
menggelinjang 
dalam kuali 

Aku suaminya 
tidur bergelung 
di tengah rumah 
hilang marwah 

Celaka bapak si anu 
kutukmu dari 
dapur yang mengepul 
aroma kayu 
terbakar basah 

Celakalah dia! 

Amin semesta 

Rosnida Mencari Laki 

Tidak berfaedah 
kerjamu itu, Rosnida 
ibunya memekik-mekik 
di pangkal jenjang 

Tapi dia berbedak juga 
sore-sore hari 
mencari laki 
ke Pasar Atas 
atau ke Pasar Bawah 
Bukittinggi sempit sekali 
menawar kuini 
atau duku Sijunjung 
harganya murah 

Malam baru 
dia pulang 
membawa lagu 
selamat pagi, 
Ibu telah kutemu 
simpul lukaku! 

Tapa Barata Anak Bujang 

Setelah masuk ke gua tarikah empat puluh hari di Koto Tangah 
Dia pulang mengunjungi ibunya 
Ibu, aku sudah bertapa 
Kitab-kitab segala bangsa telah kubuka 
Kucari simpul derita dunia dan kupepat dia 
Kalau kukata, matinya mati anjing 
Terpenjara dia bersama babi segala celeng 
Tidak akan hidup lagi dia abadi dalam sengsara 

Tapi ibunya bilang: Burungmu masih tegak 
Hasratmu masih suka berlagak, kerampangmu gelinjang-gelegak 
Pergilah ke Gunung Ledang, tempat pendekar pergi bertarak 

Setelah turun dari Gunung Ledang empat puluh hari kemudian 
Dia mengetuk pintu dapur ibunya Ibu, aku sudah memangkas hasrat 
Para gergasi rimba raya dalam diriku telah kukebat 
Kutemu simpul amarah dunia dan kupancung dia 
Kalau kukata, matinya mati pada pangkal 
Ke pucuk dia tidak akan hidup 
Ke urat dia tidak akan tumbuh 

Tapi ibunya bilang: Neraka dalam dirimu tak kau padamkan 
Gerahammu mengunyah bagai pabrik, lambungmu karet gelang terus regang 
Bagaimana mungkin petapa gemuk sepertimu sampai pada makrifah 

Kau loba, Siampa!

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini