Padangpanjang Kota yang Berbahagia


Padangpanjang Kota yang Berbahagia

Oleh Deddy Arsya

“Padangpanjang adalah kota yang berbahagia,” demikian tulis Ali Akbar Navis, pengarang Robohnya Surau Kami yang fenomenal itu. Di sana ada batu kapur yang memberi hidup, ada sawah, ada sungai yang memberi hidup, ada rel kereta yang memberi hidup “walau kadang orang mati juga dilindasnya,” kata Navis lagi. “Di kota kecil ini,” tulis Navis pula, “air berlebihan. Hingga ke mana pun kita bertandang, perempuan atau gadis-gadis cepat-cepat menyediakan minuman bagi kita.”


Kota kecil di kaki gunung-gunung raksasa—ada Singgalang di Barat, ada Marapi di Timurnya, ada Tandikek agak ke barad daya. Kota dengan curah hujan yang tinggi sehingga dinamakan Kota Hujan. “We wonen hier in een regennest, Meneer!” kata seorang pelancong Belanda pada akhir abad ke-19. Ya, kita memang sedang hidup di sarang hujan, Tuan!

Namun di sisi lain, kota hujan ini memiliki riwayat yang jauh terentang ke masa silam, riwayat tidak melulu sedingin cuaca di sana, riwayat yang kadang-kadang tidak kalah panas-berdengkang. Pada abad ke-18, Padangpanjang menjadi transito dagang yang menghubungkan jalur dagang di pedalaman Minangkabau dengan pantai barat Sumatera. Pada abad ke-19, kota ini menjadi salah satu pusat pertahanan Belanda dalam upaya menggempur benteng-benteng kaum padri di daratan tinggi Minangkabau. Di awal abad ke-20, Padangpanjang menjadi tempat persemaian ide-ide pergerakan kebangsaan menuju Indonesia merdeka, mulai dari yang berideologi komunis, sosialis, nasionalis, hingga dan terutama Islam. Di kota ini pula, lahir tokoh-tokoh besar yang mewarnai sejarah modern Indonesia. Mulai dari politisi, penyair, seniman, sastrawan, perupa, aktivis emansipasi perempuan, hingga pejuang pendidikan: Sutan Sjahrir, Huriah Adam, Rivai Apin, A A. Navis, Rahmah El Yunusiah, Ahmad Khatib Dt. Batuah, dan lain sebagainya.

Tulisan ini akan melihat riwayat kota ini sejak awal keberadaannya hingga menjadi kota modern seperti sekarang. Sebuah kota memang tidaklah lahir dengan sendirinya. Sebagaimana yang dikatakan Sartono Kartodirdjo (yang dikutip Zulqayyim), sebuah kota tumbuh melalui proses sejarahnya yang panjang. Sepanjang sejarahnya itu kota mengalami pertumbuhan, perkembangan, dan perubahan, baik fisik maupun non-fisik, yang pada tingkat tertentu menunjukkan adanya kesinambungan hingga sekarang. Namun pada sisi yang lain tentu juga akan ditemukan perubahan. Apa yang berubah (diskontiunitas) dan apa yang berlanjut (kontiunitas) dari kota yang tahun 2013 ini telah memasuku umur 223 tahun ini.

Dengan mengkaji masa lalu dari sebuah kota, akan memberikan pemahaman bagaimana dinamika, karakteristik, dan kecendrungan dari sebuah kota itu. Pemahaman tersebut berguna untuk dimanfaatkan bagi kebijakan kota masa kini yang sekali pun telah berjarak puluhan bahkan ratusan tahun. Tidakkah dalam sejarah, menurut Taufik Abdullah, “seratus tahun hanyalah sekejap mata”? Dalam artian bahwa persoalan hari ini bisa saja bertolak atau berakar dan punya ketersambungan bahkan hingga jauh ke masa silam.

Kota Militer pada Awal Abad ke-19

Padangpanjang merupakan bagian dari wilayah Tuan Gadang di Batipuh. Tidak didapat keterangan yang memadai bagaimana status Padangpanjang pada masa itu. Apakah wilayah ini merupakan sebuah nagari, sayang sekali tidak dapat diketahui. Jika demikian adanya, tentu kawasan ini memiliki kelengkapan-kelengkapan sebagaimana nagari pada umumnya: punya pasar, balai adat, pandan-pekuburan, dan masjid nagari. Namun ada sumber mengatakan bahwa Padangpanjang sejak dahulu telah menjadi pasar satelit tempat di mana pedagang-pedagang dari daerah-daerah sekitarnya berkumpul. Pada masa Perang Padri, Tuan Gadang telah menjadi sekutu Belanda yang utama dan terpenting. Batipuh dianggap yang paling anti-padri di pedalaman Minangkabau. Kawasan Padangpanjang kemudian diminta Belanda kepada sekutunya itu untuk dijadikan sebagai salah satu pos pertahanan dan sekaligus batu loncatan untuk menggempur benteng-benteng padri di pedalaman. Padangpanjang sebagai daerah yang menghubungkan wilayah pedalaman dan pesisir pantai memang sangat strategis sebagai basis pertahanan. Kaum padri menguasai kebanyakan daerah di Agam—kawasan-kawasan yang efektif jika dijangkau dari Padangpanjang.

Sebagaimana kota benteng militer pada umumnya, di Padangpanjang awal abad ke-19 terdapat tansi militer. Tansi militer adalah bagian yang penting dalam sejarah Padangpanjang pada periode ini. Sebagaimana kota-kota di Sumatera Barat lainnya yang banyak lahir karena perang, Padangpanjang adalah kota yang termasuk dalam tataran demikian. Dari Padangpanjang tentara dipasok, alat-alat perang Belanda dimarkaskan, dan menjadi ujung tombak pertahanan. Peran ini misalnya terlihat semakin jelas ketika pemberontakan Regen Batipuh meletus pada 1841. Batipuh yang semula sekutu paling penting pihak Belanda kini melawan. Dan sasaran utama pemberontakan adalah Padangpanjang. Sebab di kota ini terdapat markas serdadu Belanda yang besar. Tansi serdadu itulah yang kemudian diserang para pengikut Tuanku Batipuh dan dibakar. Pada tanggal 24 Februari,orang-orang Batipuh membakar habis hampir semua rumah di Padangpanjang. Kemudian mereka menyerang benteng-benteng Belanda di sekitarnya, demikian ditulis Christine Dobbin (2008:328). Sekali pun pemberontakan itu berhasil digagalkan, pemberontakan itu menunjukkan kepada kita bahwa hingga puluhan tahun setelah perang padri usai, Padangpanjang masih memainkan peran sebagai kota militer yang penting bagi pemerintah Hindia Belanda di tengah Sumatera.

Selain tansi militer, yang tidak kalah penting lainnya yang harus dipunyai kota militer dalam suasana perang adalah penjara. Penjara di Padangpanjang telah ada sejak awal keberadaan Belanda di sana, “akan tetapi berada dalam kondisi yang jelek, lebih kurang sama nasibnya dengan penjara di Bukittinggi”, demikian laporan C. J. van Asska, “Verslag over het Gevangeniswezen in Nederlandsch-Indie” dalam Themis Regtskundig Tijdschrift, Vol III Bagian 6, (Gravenhage: Grebroeders Belinfante, 1859). Masih menurut sumber yang sama, dinding penjara tersebut hanya ditutupi dengan alang-alang, dan banyak sisi bangunannya yang somplak. Pada tahun 1850, Padangpanjang (bersama Bukittingi) telah mengirimkan proposal anggaran ke Gubernur Jenderal di Batavia untuk pembangunan penjara baru, namun “tidak belum ada jawaban dari pemerintah”, kata laporan yang lain, sebuah Verslag (laporan tahunan pemerintah kolonial) bertahun 1845. Tahun 1857, proposal diajukan lagi, akan tetapi baru tiga tahun kemudian proposal yang kedua itu mendapat respon dari pemerintah pusat di Batavia, Pada tahun 1860, penjara baru sedang dibangun di Fort de Kock. Pekerja-pekerja yang juga kebanyakan didatangkan dari Jawa sibuk menyelesaikannya, kata laporan pemerintah bertahun 1860. Penjara yang lebih baik mungkin telah dibangun setelah itu. Sebagai dikutip R. A. van Sandick & J. E. de Meyier, Penjara Padangpanjang pada akhir abad ke-19 telah dapat menampung sampai 50 tahanan.

Periode Tanam Paksa Kopi pada Pertengahan Abad ke-19

Perang padri usai pada tiga dasawarsa awal abad ke-19. Setelahnya hanya terdengar sisa-sisa atau serpihan-serpihan pemberontakan sebagai bentuk reaksi atas ketidakpuasan pihak kalah perang terhadap pemenang perang. Kekuasaan Belanda pasca-padri perlahan-lahan dikokohkan.

Pada tahun 1833, Belanda membangun jalur Lembah Anai untuk menunjang ekspansi politiknya ke daerah dataran tinggi. Panjang jalan ini sekitar 17 km, dan menaiki bukit setinggi 2000 kaki, yang sebagian besar terdiri dari batu karang. Oleh karena itu jalur ini mempunyai banyak tikungan dan tanjakan. Namun, sekalipun begitu, jalur ini dianggap jauh lebih efektif dari jalur yang pernah ada sebelumnya, karena lebih pendek dan lebih tidak berbahaya. Jalur karavan tradisional kuda dan pedati dianggap terlalu terjal dan curam, sehingga membahayakan. Pembukaan jalan ini oleh pemerintah kolonial Belanda memungkinkan hubungan langsung dengan jantung Minangkabau di daerah dataran tinggi menjadi lebih mudah.

Padangpanjang yang terletak di ujung sebelah barat daratan tinggi tumbuh menjadi titik perbatasan antara daerah daratan tinggi dan pesisir pantai. Padangpanjang diuntungkan karena posisinya yang berada di jalur pintu masuk ke pedalaman. Jalan transportasi telah menstimulasi mobilitas penduduk dari pedalaman dengan pesisir pantai. Tentu saja ini juga menstimulasi perkembangan kota yang terdapat di garis jalur transportasi itu, tidak terkecuali Padangpanjang.

Ketika Sistem Tanam Paksa Kopi diberlakukan pemerintah, tempat-tempat penampungan kopi dibangun di beberapa kota kolonial di Sumatera Barat, kata Graves dalam bukunya tentang kemunculan elite modern di Minangkabau. Padangpanjang, sekali lagi, karena posisinya yang berada pada urat nadi lalulintas, menjadi pusat pengumpul kopi terbesar di pedalaman Minangkabau. Padangpanjang adalah kota pengumpul hasil tanaman kopi terbesar dari daerah-daerah sekitarnya. Pada tahun 1847, catatan Belanda melaporkan, bahwa di Padangpanjang terdapat 1 gudang kopi besar dan 1 gudang kopi kecil. Seorang pengawal Eropa di tempatkan di sana. Jumlah personil pribumi di gudang-gudang tersebut, yang terdiri dari Kepala Gudang (Pakhuis Meester), pembandu, dan klerek, berjumlah 10 orang. Jumlah yang paling banyak di antara gudang-gudang kopi lain yang terdapat di Batusangkar, Solok, Bukittinggi, dan Payakumbuh, yang masing-masing hanya memiliki satu personil pribumi yaitu seorang klerek, tanpa seorang pun personil Eropa.

Keterangan ini memperlihatkan bahwa pada masa periode kopi, Padangpanjang memainkan peran yang signifikan dibandingkan kota-kota lainnya di daratan tinggi Minangkabau. Padangpanjang menjadi pusat pengumpul kopi. Orang Eropa satu-satunya dalam seluruh sistem berada di gudang kantor pusat untuk dataran tinggi yang terletak di Padangpanjang.

Perkembangan Pasar

Pasar merupakan intrumen penting bagi perkembangan sebuah kota. Tidak jarang, perkembangan pasar mengikuti garis perkembangan kota, atau sebaliknya, perkembangan kota adalah representasi dari pasar utamanya.

Pasar-pasar besar yang ada di Bukittinggi, Batusangkar, Payakumbuh, dan termasuk Padangpanjang, pada akhir abad ke-19 telah menjadi pusat kota. Pasar-pasar tersebut menarik banyak orang untuk datang akibat positif dari melajunya ekonomi Sumatera Barat abad ke-19, demikian catat Christine Dobbin. Pasar-pasar tersebut pun mulai diadakan tiap hari, bukan hanya seminggu sekali sebagaimana ‘pakan’ dalam konsepsi tradisional Minangkabau.

Pasar Padangpanjang, pada akhir abad ke-19, tampak begitu meriah dengan perkembangan yang baik, demikian dapat digambarkan. Laporan seorang letnan Belanda yang berkunjung ke Sumatera Barat pada periode itu menginformasikan kepada kita bagaimana kondisi pasar utama Kota Padangpanjang. Justus van Maurik, demikian nama letnan itu, dalam laporan bertajuk Indrukken van een ‘Tòtòk’, Indische Typen en Schetsen, yang terbit tahun 1897, menuliskan bahwa pasar Padangpanjang ramai dikunjungi masyarakat dari beberapa desa di sekitarnya. Pasar tersebut menjadi tempat bertemu penjual dan pembeli dari desa-desa selingkaran Padangpanjang. “... orang Melayu mengunjungi pasar, ada yang untuk berjulalan menghabiskan barang dagangan mereka dan ada yang hendak berbelanda, mereka berjual-beli satu sama lain untuk berbagai produk,” demikian Maurik mencatat.

Di pasar Padangpanjang, Maurik sangat terkesan melihat pakaian masyarakat yang memiliki beragam corak. Maurik mengaksikan pengunjung pasar memakai jubah dengan beragam warna dan perhiasan yang juga tidak satu modelnya. “Kostum mereka tampak indah dalam berbagai corak. Terutama perempuan yang datang daerah-daerah di pinggiran Padangpanjang, memakai jubah berwarna-warni, menghiasi diri dengan emas, cincin, kalung, dan anting-anting. Beberapa bahkan memakai anting-anting yang begitu besar” (Maurik, 1897: 64). Sementara para pria yang datang ke pasar, masih menurut catatan yang sama, juga mengenakan pakaian berwarna-warni yang benar-benar serasi dengan corak sarung mereka. “Di pasar-lah ditemukan seluruh warna-warna ceria daripada di tempat lain,” tulis Maurik.

Di tengah laporan yang menarik mengenai para pengunjung pasar Padangpanjang itu, Maurik mencatat, bahwa kondisi pasar itu sendiri terdapat cacat, yaitu terdapat beberapa genangan air, yang membuatnya terpaksa melangkahinya ketika berjalan mengelilingi pasar. Irigasi dan sanitasi pasar kurang bagus.Tapi, kata Maurik lagi, tentu itu disebabkan karena Kota Padangpanjang sendiri adalah kota dengan curah hujan yang tinggi.

Perkembangan Pemukiman Penduduk

Di sekitar pasar Padangpanjang, pemukiman penduduk tersebar bagai melingkar. Menurut laporan Maurik, dalam pandangan Eropanya dalam menilai kota-kota negeri jajahan, bahwa keadaan pemukiman di sekitar pasar Padangpanjang pada akhir abad ke-19 itu cukup rapi dan nyaman. “Rumah-rumah masyarakat memang kecil, tapi rapi dan nyaman ... beberapa rumah memiliki taman yang terawat baik, dengan bangunan luar yang juga rapi dan halaman yang bagus.” Rumah-rumah penduduk kota, kata Maurik lagi, beratap seng yang dicat putih. Warna putih pada atap sangat kentara dari rumah itu sendiri yang pada umumnya dicat hijau (1897: 64). Rumah-rumah lama bercat hijau masih akan dapat kita temukan di Kota Padangpanjang di masa kita sekarang.

Perkembangan pemukiman pada sebuah kota tentu paralel dengan pertumbuhan jumlah penduduk kota itu sendiri. Data-data mengenai sensus penduduk menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk Kota Padangpanjang meningkat selama periode kolonial Belanda. Sensus tahun 1920 menyebutkan bahwa penduduk Kota Padangpanjang berjumlah 6.842 jiwa. Angka itu meningkat hampir 50 persen sepuluh tahun kemudian. Pada tahun 1930, jumlah penduduk Kota Padangpanjang sudah mencapai 9.609 jiwa.

Kota Pendidikan dan Pergerakan Kemerdekaan Awal Abad ke-20

Di samping Padang dan Bukittinggi, banyak kegiatan modernisme Islam berputar di sekitar Kota Padangpanjang, demikian catat Christine Dobbin (2008: 379). Seperti telah juga disinggung di awal, pada awal abad ke-20, Padangpanjang telah menjadi tempat persemaian ide-ide pergerakan kebangsaan menuju Indonesia merdeka, dengan beragam ideologi, terutama yang berpanji-panji modernisme Islam. Haji Abdul Karim Amrullah, misalnya, memilih untuk membesarkan Muhammadiyah di kota ini

Kaum pembaharu Islam di Padangpanjang menyebarkan ide-ide pembaharuannya bermula lewat pendidikan. Di Padangpanjang akan ditemukan banyak sekolah-sekolah Islam berbasis modern. Pertama-tama adalah Surau Jembatan Besi, cikal-bakal Sumatera Thawalib yang terkenal itu. Surau yang digawangi ulama reformis terkenal masa itu, Haji Rasul. Surau Jembatan Besi lalu berkembang menjadi Sumatera Thawalib. Di Sumatera Thawalib inilah berbagai pemikiran baru berkembang dari yang paling radikal seperti komunisme hingga yang moderat.

Di Padangpanjang, pada periode ini pula, sekolah khusus putri bermula didirikan. Diniyah Putri, sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh Rahmah El Yunusiah pada dua dasawarsa awal abad yang ke-20 menjadi sekolah terkenal dalam sejarah gerakan perempuan di Indonesia. Lembaga pendidikan ini berupaya memberdayakan wanita. Sekolah yang mencoba untuk mendidik kaum perempuan menurut dasar agama. Mula-mula mereka belajar ilmu agama dan tata bahasa Arab. Belakangan sekolah ini menerapkan sistem pendidikan modern, mengabungkan agama, umum, dan pendidikan keterampilan.

Seperti telah disebutkan, ideologi kebangsaan yang berkembang di Padangpanjang tidak satu, tetapi beragam. Selain ide-ide modernisme Islam, Padangpanjang pernah juga berkembamg pesat, bahkan sempat menjadi pusat, dari ide-ide komunisme.

Dalam bukunya, Sedjarah PKI, Djamaluddin Tamim, menulis:
“Malah di Padang Pandjang, sebuah kota ketjil di Sumatera Tengah tempat berkumpul dan pusatnja pesarntren Agama/Mahasiswa Ilmu Gaib dari seluruh Sumatera, sudah sedjak awal tahun 1920 disanapun sudah mulai menjebut2 tentang Sosialisme-Komunisme Sarikat Merah, walaupun pada permulaannja makanja Padang Pandjang menjadi pusat kaum merah, menjadi kota merah di Sumatera, hanjalah mendirikan BOPET MERAH sebagai tjabangnja Koperasi kaum Merah disana, jakni lima enam bulan sebelumnja lahir PKI di Semarang tahun 1920″.
Padangpanjang, demikian ditulis sumber lain, menjadi kota tempat berkumpulnya tokoh-tokoh komunis dari kota-kota lain di Sumatera Barat. Kota Padangpanjang ini merupakan pusat perkumpulan komunis dari Padang, Pariaman, Solok, Sawahlunto, Agam, Payakumbuh, dan Batusangkar. Para tokoh komunis lokal sering berdatangan ke Padangpanjang untuk mengikuti rapat umum. Sebelum kemudian dilarang pada 1923 dengan ditangkapnya beberapa tokoh komunis lokal dan semakin diperketatnya gerakan politik akibat dari kegagalan pemerontakan komunis di Silungkang pada 1927, rapat umum adalah pemandangan yang ajeg ditemukan di Padangpanjang. Hampir tiap bulan, demikian kata sebuah laporan, kaum komunis mengadakan rapat umum di Padangpanjang. Rapat biasanya diadakan pada hari Minggu, hari-hari besar, atau waktu hari perhelatan.

Padangpanjang dipilih sebagai pusat perkumpulan jelas karena letaknya yang berada di persimpangan jalan yang menghubungkan kota-kota pergerakan di daratan tinggi dan pesisir pantai. Selain itu, akses transportasi yang mudah memungkinkan mobilitas massa praktis dan cepat menuju ke kota ini. Kereta api dan dan jalan raya dapat dimanfaatkan sebagai alat angkutan bagi anggota perkumpulan.

Sejarah mencatat ada beberapa tokoh komunis penting berasal dari Padangpanjang. Di antara yang paling terkenal adalah Ahmad Khatib Dt. Batuah yang lahir di Koto Laweh, Padangpanjang, pada tahun 1895. Dt. Batuah dan teman-temannya mendirikan PKI cabang Padangpanjang secara resmi pada 20 November 1923. Ia aktif mengampanyekan ideologi perjuangan SI Merah alias Sarekat Rajat melalui ceramah-ceramah maupun tulisannya di media cetak seperti Pemandanga Islam, Djago! Djago!, dan Doenia Achirat. Dt. Batuah dianggap sebagai seorang muslim Minangkabau yang memadukan prinsip-prinsip Islam dan ideologi Marxis dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Gurunya Haji Rasul, seorang modernis Islam. “Faham agama saya masih tetap faham agama yang beliau ajarkan. Cuma dalam ideologi politik kami bersimpang,” tutur Dt. Batuah, sebagaimana dicatatkan Hamka. Bersama Natar Zainuddin, tokoh komunis asal Minangkabau lainnya, Dt. Batuah akhirnya dibuang oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1923 karena didakwa membikin persekutuan akan mengatur pemberontakan di Padangpanjang, demikian catat Dunia Achirat pada tahun 1924. Mula-mula ke Timor, lalu dibuang ke kamp interniran di Digul.

Tidak saja dari kalangan laki-laki, dari kalangan perempuan juga tersebut. Adalah Upik Hitam, berasal dari Nagari Bunga Tanjung, Padangpanjang. Dia, disebut-sebut tidak pandai tulis baca, tidak menjadi bagian dari perempuan terdidik dari dunia modern. Tetapi namanya menjadi terkenal pada masa-masa rapat akbar. Dia pernah memimpin sebuah rapat akbar, rapat akbar partai komunis. Dalam rapat akbar itu Upik Hitam tampil sebagai orator dengan mulut coklat oleh kata-kata hujatan terhadap pemerintah kolonial. Dalam orasinya dia sering mengutuk kesewenang-wenangan pihak penguasa, mengutuk para pegawai dan pejabat pribumi yang demi kepentingannya sendiri menjilat-jilat kepada kekuasaan penjajah dan di sisi lain berlaku tidak adil kepada kaum bumiputra yang tertindas. Atas dasar kegiatannya itu dia kemudian ditangkap dan dipenjarakan, dia dikait-kaitkan terlibat dengan pemerontakan kaum komunis. Upik Hitam, tanpa pernah diadili, dipenjarakan selama 8 tahun di Penjara Padang.

Kota yang Luluh-lantak: Padangpanjang Pasca-Gempa 1926

“... jang beratus-ratus tertimbun di Padang Pandjang”, demikian catat Muhammad Radjab, dalam autobiografinya yang terkenal, Semasa Kecil di Kampung, 1913-1938. Buku ini mengisahkan dengan informatif bagaimana akibat gempa Padangpanjang tahun 1926 bagi kehidupan kota itu sendiri, baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun pendidikan. Buku tersebut, dapat dipastikan, merupakan sumber pribumi tertulis yang utama merekam dengan cukup detil kejadian gempa dan akibat-akibatnya.

Gempa besar itu terjadi pada 28 Juni 1926, berlangsung selama lima hari lima malam. Radjab menulis, saat bermain dengan temannya, tepat pukul 10 pagi, gempa tiba-tiba mengguncang. ”Terdengar bahana gemuruh dan deruman mendahsjatkan, dan pada detik itu djuga tanah seluruhnja gojang, goncang hebat sekali. Surau, rumah-rumah kampung, pohon-pohonan dan batang-batang kelapa bergegar-gegar, berajun-ajun menakutkan,” begitu tulis Radjab.

Menurut Radjab dalam buku terbitan Balai Pustaka tahun 1950 itu, gempa pertama itu berlangsung selama dua menit. Ketika gempat terjadi, “kami terhujung-hujung, tak kuat berdiri ... Badan kami gemetar sekudjurnya, keringat dingin meresap keluar, bibir putjat tak berdarah, napas tertahan-tahan dan tak beraturan,” catat Radjab (1950: 127-8). Tidak berapa lama setelah gempa pertama, datang lagi gempa kedua. “Tiba-tiba gempa lagi, begitu berulang-ulang, kadang besar kadang kecil ... ‘kehilangan akal, kami semua berlari...,” tulis Radjab lagi.

Episentrun gempa berpusat di Padangpanjang, dengan demikian, dapat dipastikan, kota itu adalah yang terparah menanggungkan akibatnya. Padangpanjang luluh-lantah mengalami kehancuran yang paling parah. Ratusan orang mati, begitu catat Radjab. Kereta api, alat angkutan massal masa itu, tidak jalan. Ke hilir Padangpanjang, menurut Radjab lagi, jalannya terputus dan rusak. Sementara di kampung-kampung sunyi sekali rasanya karena tidak terdengar lagi peluit lokomotif dan ributnya kereta berjalan. Di mana-mana, masih catat Radjab, kita jumpai orang yang air mukanya pucat karena takut. Tidak ada yang tertawa atau bersenda gurau. “Seluruh kota Padang Pandjang sudah sama rata dengan tanah. Rumah batu semuanja rubuh.” (Radjab, 1950: 130-1).

Secara kuantitatif, bagi Kota Padangpanjang, gempa ini membuat 2.383 rumah roboh serta 247 orang tewas. Dampak gempa bumi ini menimbulkan banyak tanah terbelah dan longsoran di beberapa titik di Padangpanjang. Sebuah foto bertajuk Verwoestingen te Padang Pandjang na de aardebeving van 1926 dengan jelas memperlihatkan bagaimana kondisi Padangpanjang pascagempa: rumah-rumah hampir rata roboh, jalan beraspal rengkah menganga, dan sebuah jembatan juga terlihat putus. Dalam foto itu juga terlihat, tidak ada benda-benda yang benar-benar berdiri sempurna; terlihat benda-benda rumah tangga seperti kursi, meja, dan lemari terjungkang seluruhnya. (Foto koleksi Tropan Museum, No. 103989)

Di sisi lain, menurut sumber kolonial awal, sebagaimana yang dikutip Hedler dalam bukunya Sengketa Tiada Putus, gempa juga menghentikan untuk sementara aktivitas pendidikan di Kota Padangpanjang. Sekolah-sekolah hampir rata mengalami rusak parah. Gedung-gedung sekolah milik Sumatera Thawalib runtuh, begitu juga gedung-gedung milik Diniyah Putri mengalami kerusakan yang tidak kalah parah (tentang yang terakhir ini baca juga misalnya, Biografi Singkat Rahmah El Yunusiyah). Inilah gempa yang mengguncangkan jiwa orang Minangkabau, dikenang secara luas, menjadi penanda kelahiran, momentum di masa kemudian.

Namun, keguncangan akibat gempa tersebut perlahan-lahan hilang tidak sampai bertahun setelahnya. Sekolah-sekolah yang roboh ditegakkan lagi, aktivitas berlangsung kembali seperti sedia kala, Kota Padangpanjang yang luluh-lantak perlahan-lahan mulai menegakkan kepalanya. Aktivitas pergerakan kembali hidup. Radjab, tentang kebangkitan pasca-gempa ini, menuliskan: “Djiwa rakjat Minangkabau tidak gontjang lagi, meskipun tinggal sedikit getarannja”.

Padangpanjang dan Pemberontakan Komunis 1927

Namun, yang menggoncangkan jiwa orang Minangkabau kemudian justru sebuah pemberontakan yang dilakukan kaum komunis setahun setelah gempa Padangpanjang. Sekalipun di Kota Padangpanjang pemberontakan urung dilakukan, tidak terjadi sebagaimana di Silungkang dan Padang, masyarakat di Padangpanjang ternyata harus turut menanggungkan akibat dari pemberontakan yang gagal itu.

Penangkapan terhadap kaum komunis masih terus berlangsung beberapa tahun setelah pemberontakan berhasil dipadamkan militer Belanda. Termasuk terhadap beberapa aktivis politik yang berdomilisi di Padangpanjang. Orang-orang komunis atau yang dituduh komunis masih terus ditangkapi sehingga menuai protes dari orang-orang bumiputra sendiri. Penangkapan-penangkapan terus berlanjut di dasawarsa berikutnya. Pemerintah kolonial bahkan menjadikan pemberontakan komunis yang gagal itu sebagai alasan untuk mengetatkan pengawasan terhadap gerakan-gerakan politik bumiputra pada umumnya. Serdadu-serdadu ditempatkan di pos-pos penjagaan di kota-kota dan daerah-daerah pedalaman, termasuk di Padangpanjang. Pengawasan militer tersebut kemudian digantikan oleh intel Belanda P.I.D., sebuah dinas rahasia Belanda yang dibentuk khusus untuk mengawasi dan menangkapi kegiatan-kegiatan politik.

Tidak saja berimbas pada gerakan komunis dengan pembubaran PKI, pemberontakan komunis yang gagal itu ternyata juga berimbas panjang pula bagi gerakan politik lainnya. Rapat-rapat politik dilarang. Larangan berapat dikeluarkan seiring beberapa tokoh partai ditangkap. Gerakan-gerakan politik yang dianggap radikal tidak dibiarkan bernapas lagi. Otomatis, Padangpanjang yang pernah menjadi pusat rapat-rapat akbar, menjadi sepi dari gerakan-gerakan politik.

Kota Padangpanjang Poskolonial

Pasca-kolonial, kejayaan Kota Padangpanjang berangsur surut. Sekali pun kota ini pernah menjadi pusat pemerintahan sementara Sumatera Tengah yaitu setelah Kota Padang dikuasai Belanda pada masa agresi militer tahun 1947. Kota ini kemudian hanya diakui sebagai kota kecil. Kota ini sebagai pemerintahan daerah terbentuk berdasarkan Undang-undang nomor 8 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota kecil dalam lingkungan daerah propinsi Sumatera Tengah pada tanggal 23 Maret 1956. Selanjutnya, barulah setahun kemudian, berdasarkan Undang-undang nomor 1 tahun 1957, status kota ini sejajar dengan daerah kabupaten dan kota lainnya di Indonesia.

Berdasarkan keputusan DPRD Peralihan Kota Praja nomor 12/K/DPRD-PP/57 tanggal 25 September 1957, maka Kota Padangpanjang dibagi atas 4 wilayah administrasi, yakni Resort Gunung, Resort Lareh Nan Panjang, Resort Pasar dan Resort Bukit Surungan. Kemudian berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 istilah kota praja diganti menjadi kotamadya dan berdasarkan peraturan menteri nomor 44 tahun 1980 dan peraturan pemerintah nomor 16 tahun 1982 tentang susunan dan tata kerja pemerintahan kelurahan, maka resort diganti menjadi kecamatan dan jorong diganti menjadi kelurahan dan berdasarkan peraturan pemerintah nomor 13 tahun 1982 Kota Padangpanjang dibagi atas dua kecamatan dengan 16 kelurahan.

Beberapa orang menganggap, dari sisi ekonomi, Padangpanjang mulai ditinggalkan oleh kota-kota sekitar yang tumbuh pesat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi seperti Bukittinggi, Solok, dan Payakumbuh. Dari sisi sumber daya alam Padangpanjang juga tidak kuat bersaing dengan daerah sekitar karena luas wilayahnya yang terlampau kecil. Dari sisi pendidikan, Kota Padang juga lebih dilirik karena merupakan kota utama provinsi.

Namun, setengah yang lain bilang, dengan nada yang lebih optimistis, bahwa bukan berarti predikat kota pendidikan lepas dari Padangpanjang. Keberadaan Diniyah Putri, Sumatera Thawalib, Lembaga Pendidikan Muhammadiyah, serta STSI (sekarang ISI) tetap membuat Padangpanjang dikenal sebagai Kota Pendidikan. Sektor inilah yang barangkali harus terus digenjot dan dipertahankan bagi pemimpin Padangpanjang di masa depan, di samping sektor Pariwisata dan Industri Makanan, yang banyak bertebaran di kota ini.

Telah diuraikan, bahwa di masa silam, Padangpanjang pernah menjadi bagian penting dari sejarah negeri ini. Menjadi kota yang diperhitungkan di antara kota lainnya di Sumatera Barat. Tidak tertutup kemungkinan, di masa depan, peran penting itu akan direbut lagi oleh kota ini. Tentu saja usaha itu dapat dicapai dengan berbagai stragegi yang jitu dan mumpuni dari pemimpinnya yang cerdas dan amanah. Nada optimisme harus tetap didengungkan. Harapan harus tetap dipelihara.

Mengulang A. A. Navis di awal tulisan ini, bahwa di Padangpanjang “... ada batu kapur yang memberi hidup, ada sawah, ada sungai yang memberi hidup, ada rel kereta yang memberi hidup walau kadang orang mati juga dilindasnya.” Sekali pun yang terakhir hanya tinggal sebagai instrumen pariwisata. Padangpanjang toh tetap kota yang berbahagia!

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini