Kuda dari 'Darek'

Kuda dari 'Darek'

Oleh Deddy Arsya

Tulisan ini menyuguhkan secara selayang pandang tentang kuda dari daratan tinggi (darek) Minangkabau pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kuda yang tidak seterkenal kuda sumbawa, kuda batak, atau kuda arab memang. Namun, ketika kendraan-kendraan dari mesin belum ada, ternyata kuda-kuda ini pernah memainkan peran penting dalam dunia transportasi di Sumatera Barat. 

Ada beberapa sumber Belanda yang berbicara mengenai kuda di wilayah keresidenan Sumatra's Westkust, terkhusus di afdeling Payakumbuh, pada periode Hindia Belanda. Sebuah tulisan berjudul "Van Pajakoembuh en Paarden" (“Payakumbuh dan Kuda”) dalam Weekblad voor Indie edisi 18 Juli 1906, di antaranya melaporkan mengenai perkembangan peternakan kuda di Payakumbuh pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 (hal. 344-346).

Menurut laporan majalah mingguan tersebut, pemerintah Belanda sendiri memiliki sebuah kawasan peternakan kuda yang cukup luas di Payakumbuh. Tepatnya di daerah Bukitbungsu. Dalam literatur Belanda itu, kawasan peternakan kuda itu disebut sebagai "padang-bakoeda"—sebuah istilah Melayu tentu. Kuda-kuda dipelihara dengan cara dilepaskan di padang pengembalaan (padang rumput) terbuka dengan digembalakan oleh beberapa orang pribumi yang digaji pemerintah. Dalam kawasan peternakan itu sekaligus terdapat klinik hewan tempat pengobatan bagi kuda-kuda yang terserang penyakit.

Pada waktu tertentu, kuda-kuda pilihan dari peternakan dibawa untuk mengikuti balapan. Acara pacu kuda atau balapan kuda biasanya diadakan bersamaan dengan diadakannya 'pakan-malam' oleh pemerintah kolonial Belanda di daerah setempat. Hal yang serupa, misalnya, juga terjadi di Padangpanjang dan Fort de Kock. Sebagaimana di Payakumbuh, pasar malam atau pakan malam yang biasanya diadakan untuk memeriahkan ulang tahun ratu Belanda itu, pada siangnya turut dimeriahkan oleh acara pacu kuda.

Tulisan lain yang berbicara tentang peternakan kuda untuk afdeling Payakumbuh adalah sebuah artikel bertajuk "Paarden-Fokkerij in de Padangsche Bovenlanden" (“Peternakan Kuda di Padang Daratan Tinggi). Penulisnya, seorang Belanda bernama G. De Wall, seorang Controleur van Binnenlands Bestuur (Kontrolir Pememerintah Dalam Negeri). Artikel itu ditulis tahun 1892. Tulisan ini di antaranya membicarakan bagaimana kuda difungsikan dalam masyarakat Minangkabau.

Kuda pada masa kolonial di Sumatra Barat, tulis Wall, di antaranya digunakan pegawai artileri (officer artilerie) Belanda dalam  perang dengan kaum padri; begitu pun sebaliknya, pasukan padri juga menggunakan kuda sebagai kendaraan tempur. Pascapadri, beberapa kepala negeri, demang, tuanku laras, dan keluarga pembesar pribumi juga memakai kuda sebagai kendaraan kebesaran. Tidak hanya bagi pribumi, dalam upacara-upacara di gubernemen, kuda juga menjadi tunggangan bagi pembesar-pembesar Belanda.

Menurut catatan ini pula, kuda banyak dikembangkan di beberapa daerah di 50 Kota. Tulisan ini membagi kuda di afdeling 50 Kota ke dalam beberapa kategori: pertama, apa yang disebut dalam lidah pribumi sebagai ‘kudo-sawah’. Kuda kategori ini biasanya sedikit lebih besar dari keledai, sehingga bukan merupakan kuda yang unggul. Dalam masyarakat Minangkabau, terminologi ‘kudo sawah’ juga dipakai sebagai sesuatu yang bermakna lemah, atau tidak dapat diandalkan kekuatannya. Kuda kategori ini terdapat atau dipeternakkan di beberapa daerah peternakan kuda seperti: Kota nan Gadang, Kota nan Ampek, Simalanggang, Guguk, Lubuk Batinggkok.

Kategori kedua adalah kuda dengan kualifikasi yang lebih unggul. Biasa menjadi tunggangan, bertubuh lebih besar, dan tentu saja dengan harga jual yang juga lebih mahal. Kuda ini termasuk kuda yang kuat berperang. Kuda jenis ini dikembangkan di Ajertabit, Limboekan, Moengo dan Andalas, Tanjung Aro, dan Sungai Naning. Jika diperhatikan dari perspektif topografi, beberapa daerah yang disebutkan ini memang cocok untuk peternakan kuda. Lembah-lembah yang didominsi padang rumput dengan variasi bukit-bukit kecil mewarnai topografi kawasan ini.

Di antara daerah-daerah sentra kuda yang telah disebutkan di atas, Tanjung Aro adalah di antara daerah yang menghasilkan kuda yang paling terkenal. Kuda dari Tanjung Aro dianggap sama terkenalnya dengan kuda dari Sikabu-kabu, sebuah daerah lain di XIII Kota. Kuda jenis ini dianggap hasil persilangan kuda setempat dengan kuda dari tanah Batak. Kuda yang kuat dan tinggi, sehingga tidak jarang dibawa masuk gelanggang pacu.

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini