Hadji Dadjal, Komunisme & Reformasi Islam

Oleh Deddy Arsya

Saya ingin memperkanalkan sebuah roman lama ke hadirat pembaca masa kini. Sebuah roman bertajuk Hadji Dadjal karangan Abdoe’lxarim M.S.. Saya membaca roman ini dengan setengah takjub, menyadari bahwa pengarangnya mampu menggemakan dan memformulasikan ide-ide kaum komunis dan kaum reformis Islam sekaligus.

***

William Bradley Horton, yang menulis artikel berjudul "The Political Work of Abdoe’lxarim M.S. in Colonial and Japanese Occupied Indonesia (1930s-1940s)”, menyebut roman ini menggemakan kritik sosial yang revolusioner untuk zamannya. Terbit tahun 1941 di Medan dalam seri-roman Loekisan Pudjangga, roman ini terasa sebagai sebuah kritik-parodik, gaya penceritaannya ringan dan kocak, dengan tokoh utamanya yang karikatural.

Roman ini berbicara tentang seorang pedagang cendol kaki lima bernama Oemar. Orang-orang di sekitarnya menggelarinya Dadjal karena sikap beragamanya yang ‘lain’. Oemar tidak pernah mau ke masjid. Dia tidak terlibat dengan berbagai aktivitas sosial-keagamaan seperti menjenguk orang sakit maupun bertakziah ketika ada yang meninggal. Dia juga tidak pernah memenuhi undangan perayaan pernikahan, dan jarang sekali terlihat bersedekah. Tetapi ketika menemukan ada orang yang sedang berdiskusi soal-soal keagamaan, dia akan melibatkan diri dengan bersemangat, bahkan tidak jarang memulai perdebatan sengit dengan lawan bicaranya, di mana dia akan mempertahankan pendapatnya dengan ngotot.

Orang-orang menganggap tokoh Xarim kita ini keras kepala karena tidak pernah mau mengalah ketika berdebat, tetapi baginya sang tokoh itu sendiri dia hanya sedang mempertahankan kebenaran. “Seringkali orang berbantah dengan dia lantaran membitjarakan hoekoem-hoekoem, oempama bersoetji, sembahjang, membatja do'a, dan lain-lain, tetapi dia tinggal kepala batoe dan ta' hendak mengalah”. Akibat ‘kebertikaiannya’ itu, orang-orang menyisihkannya, dan menggelarinya Dadjal. “Oleh sebab fahamnja jang sangat menikai maka selaloe ia disisih orang tapi ia sendiripoen ingin menjisih. Orang jang tinggal sekampoeng dengan dia heran memikirkan mengapa ia bertabi’at demikian, tapi ia ta' hendak menghiraukan pikiran orang.”

Tidak dijelaskan dari mana Oemar berasal. Mula-mula dia berdagang cendol yang dipikul dari lorong ke lorong di jalan-jalan di Singapura. Dia melakoni pekerjaannya itu selama tujuh tahun sambil terus menyisihkan keuntungan sedikit demi sedikit. Setelah tujuh tahun itu, dia membuka seluruh isi tabungannya lalu pergi ke Mekkah. Kita akan menyangka dia pergi ke Mekkah untuk naik haji belaka, tetapi roman ini menciptakan tikungannya yang menggelitik: Si Dadjal pergi ke Mekkah untuk menjual cendol juga, berpikir bahwa tanah Arab yang panas akan membuat cendolnya laku—lebih laku ketimbang di tanah Melayu—apalagi ketika musim haji tiba. “Beriboe-riboe bangsa saja jang kepanasan disini, maka harapan akan mendapat oentoeng dari tjendol ada besar sekali,” demikain Oemar, "Saja memang bermaksoed kemari akan naik hadji, akan tetapi tidak ada larangan dalam hoekoem akan mentjahari rezeki jang halal."

Seperti saya sebut di awal, Hadji Dadjal melancarkan kritik yang keras atas praktik-praktik beragama kaum tradisional dunia Melayu pada zamannya. Ada beberapa kritik yang diusung roman ini—terutama terhadap praktik-praktik beragama jemaah haji di Mekkah. Di antaranya adalah dia menolak ziarah sebagai bagian dari praktik haji. Sebab ketika itu, menurut roman ini, trip ziarah “ke koeboeran ’oelama-’oelama dan wali jg besar-besar” telah menjadi ‘seolah-olah’ praktik wajib dalam haji. Oemar menolak praktik itu dan menganggapnya hanya “oendjoekan daripada orang jang mengatakan dirinja alim”, dengan tujuan tiada lain “hanja satoe daja oepaja boeat memaksa orang jang sampai kemari, soepaja keloear wangnja, lain tiada!” [Oemar sebenarnya tidak melarang seluruh bentuk praktik ziarah, sebab dia juga turut berziarah tetapi hanya “kemakam Rasoel Allah, lain tidak”].

Oemar juga mencerca praktik-praktik beragama orang Melayu di Mekkah ketika musim haji di mana banyak di antara mereka yang mengultuskan seorang Habib sebagai ‘keturunan Nabi’ sehingga mereka mengambil berkat padanya. Dia tidak hanya mencerca kebodohan jemaah Melayu, tetapi juga mencerca ‘Habib-habib’ yang dianggapnya telah menipu orang-orang yang fanatik terhadapnya untuk mendapatkan uang. Oemar mencecar seorang Habib yang berusaha memberinya berkat lalu kemudian meminta sedekah: “Fasal apa akoe akan mentjioem tanganmoe? Akan mengambil berkat? Berkat apa, kau sendiri- poen tidak mendapat berkat, dari mana kau akan memberi berkat? Kau toch boekan Toehan, jang berhak memberi berkat?”

Sehubungan dengan itu, Oemar lebih lanjut juga menolak kultus Arab sebagai yang paling shahih menerjemahkan Islam. Ketika Oemar dicerca pertanyaan oleh seorang kadi di Mekkah dalam sebuah perdebatan di pengadilan yang mencoba mengadilinya, sang kadi berkata: “Apa kamoe bilang? Kamoe lebih tahoe dari kami orang ’Arab tentang agama Islam? Agama Islam datang dari ’Arab dan jang mengislamkan orang Djawi, poen orang ’Arab. Sekarang kamoe lebih tahoe dari orang ’Arab?” Oemar membantah kadi tersebut dengan berkata: “Betoel agama Islam datang dari ’Arab dan jang mengislamkan orang Djawipoen orang ’Arab djoega, tetapi boekan orang ’Arab jang sekarang, melainkan jang dahoeloe, dan sekarang mereka ta’ ada lagi.”

Oemar, dalam roman ini, kemudian juga mengkritik prilaku orang-orang yang pergi berhaji untuk ‘pakaian’ dan ‘gelar’. Oemar mengata-ngatai mereka dengan marah: “Kamoe semoea tiada maoe memakai pikiranmoe ... Kamoe beli serban, djoebah, gamis, dan lain-lain jang mahal-mahal dan kamoe toekar nama dengan nama baroe, sedang nama jang diberikan oleh ajahmoe kamoe boeang semoea, dan boeat ganti nama itoe kamoe haroes membajar kepada orang ’Arab itoe. Alangkah bodohnja kamoe lagi!”

Oemar juga menolak praktik memberi “fidiah sembahjang dan poeasa, serta sedekah dan kendoeri” bagi yang meninggal di tanah suci—suatu praktik yang juga umum dilakukan ketika itu dan seolah-olah telah jadi wajib dalam praktik haji. Bagi Oemar, praktik itu hanyalah praktik kapital belaka, “hanja soeatoe 'akal oentoek menarik wang dari kantoeng orang, atau soeatoe 'akal oentoek menarik keoentoengan atas nama Toehan...". Kata Oemar lagi: “Atoeran fidiah itoe adalah salah satoe djalan jang memberikan keoen toengan pada lebai-lebai atau kiaji-kijai....”

***

Hadji Dadjal, roman Xarim ini, adalah sebuah penolakan yang keras atas kapitalisasi agama yang dilakukan para sayyid, syekh, habib, dan para alim lainnya; roman ini juga menganjurkan penggunaan akal dalam beragama dengan menjauhkan diri dari kultus terhadap alim-alim/garis keturunan/tempat-tempat tertentu dan praktik-praktik agama yang tidak memiliki dasar akal-sehat. Jika didengar kesamaan nadanya terdengar bahwa yang pertama menggemakan suara kaum komunis yang menganggap agama adalah alat kapitalisme; sementara yang berikutnya nyaris senada dengan suara kaum reformis Islam pada dekade-dekade awal abad ke-20 yang hendak menghancurkan kebekuan pikiran/kejumudan di tengah umat (Saya mengira, pada awalnya, roman ini ditulis oleh salah seorang reformis Islam karena ide-ide reformasi yang mewarnainya). Dapat dikatakan bahwa baik suara kaum reformis Islam maupun suara kaum komunis menggema dalam roman Abdoe’lxarim M.S. ini. Bagaimana mencari keterkaitan pemikiran-pemikiran dalam roman ini dengan realitas-biografis sang pengarang?

Abdoe’lxarim M.S., yang tidak begitu dikenal dalam sejarah kusastraan kita, adalah seorang pemimpin komunis Sumatra yang cukup penting. Ia yang bernama asli Abdoe’l Karim Moehammad Soetan adalah “seorang Minangkabau yang tumbuh di Aceh dan Sumatra Timur,” tulis Anthony Reid dalam An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra. Pramoedya Ananta Toer dalam buku Cerita dari Digul tidak menemukan keterangan tentang Xarim kecuali yang dapat diberikan buku Reid di atas. Tetapi, sesungguhnya cukup banyak infomasi mengenai tokoh yang juga penulis roman tentang Digulis bertajuk Pandoe Anak Boeangan ini. Ada beberapa keterangan mengenai Xarim sebagai berikut.

Xarim adalah seorang “the commander of the PKI in Sumatra”, tulis Takao Fusayama dalam A Japanese Memoir of Sumatra, 1945-1946: Love and Hatred in the Liberation War. Pada tahun 1924, dia menjadi pemimpin PKI di Langsa dan kemudian menjadi komisioner CC-PKI untuk Sumatra. “In 1924, Abdoe’lxarim became the leader of the Langsa PKI branch and then the CC-PKI commissioner for Sumatra,” begitu tulis William Bradley Horton. Parada Harahap, sejawatnya dalam pers pergerakan, dalam Dari Pantai ke Pantai jilid II, dengan agak hiperbolik mengebut Xarim sebagai “...seorang Communisten sedjati"—anggapan yang terbukti tidak sepenuhnya benar di kemudian hari.

Sekalipun dikenal sebagai tokoh komunis, namun Xarim sesungguhnya juga punya kedekatan dengan kaum reformis Islam. Horton, misalnya, mengatakan bahwa Xarim telah lama berteman dengan Natar Zainuddin yang dianggap ‘brother-in-law’-nya. Natar Zainuddin sendiri tidak hanya seorang partisan komunis yang penting tetapi juga adalah seorang reformis Islam pada sisi yang lain. Belum lagi, ketika diinternir di Digul, Horton menuliskan bahwa Xarim telah juga menyerap banyak sekali ide-ide kaum modernis Islam karena dia tinggal di kawasan Islamis dari Sumatra, yang sangat mungkin telah berkenalan dan telah familiar dengan ide-ide Haji Misbah mengenai penyatuan Islam dan komunisme—di Sumatra ide-ide itu telah disebarkan oleh Datuak Batuah dan Natar Zainuddin juga, dan telah memperoleh banyak pengikut dari kalangan Islam, hingga keduanya dibuang ke Digul.

Hanya saja, dalam artikelnya, Horton tidak menuliskan tentang kedekatan Xarim dengan pimpinan Muhammadiyah, sebuah organisasi kaum reformis Islam yang di Sumatra mula berkembang pada dua dekade awal abad ke-20, yang mungkin saja telah semakin mengentalkan ide-ide kaum reformis Islam dalam kepalanya. Hamka, yang menjabat ketua Muhammadiyah di Medan, adalah sahabat karib Xarim. Xarim disinyalir pernah berkata kepada Hamka, sebagaimana ditulis Abdul Latip bin Talib dalam Hamka, bahwa dia, Xarim itu, adalah "... antara sahabatmu yang akrab”. Xarim, yang menyebut Hamka sebagai Engku Haji “selalu menyokong Engku Haji pada setiap keadaan." Sekalipun kemudian keduanya terpisah jalan ketika zaman revolusi meledak, namun dapat dipastikan bahwa selama menjalin persahabatan mereka telah saling bertukar pendapat dengan intens dalam waktu yang cukup lama.

Baik kedekatannya dengan kalangan komunis-Islam maupun dengan kalangan modernis Islam inilah, telah menjadi dasar yang masuk akal, jika kemudian romannya, Hadji Dadjal ini, mengandung pesan-pesan Islam dan politik radikal Marxis sekaligus. Apalagi, diketahui bahwa Abdoe’l xarim sendiri sesungguhnya bukanlah seorang komunis tulen dalam ideologi—sebagaimana disebut Parada Harahap yang telah kita singgung di muka. Di tataran orang komunis dia digelari ‘komunis non-politik’ karena sikapnya yang cendrung borjuis. Hal ini terbukti oleh kenyataan-kenyataan berikut ini.

Ketika pemerintah kolonial (karena membengkaknya pengeluaran) memutuskan memulangkan tahanan politik yang ‘tidak berbahaya’ dari Digul pada 1932, Xarim berada dalam gelombang pertama yang dipulangkan. Selama di Digul, dia adalah seorang tahanan yang kooperatif, sehingga berada dalam daftar yang pertama kali dipulangkan. “As a cooperative prisoner “willing to work”, he was among the first released and allowed to return home,” tulis William Bradley Horton. Ketika Jepang tiba, dia juga memilih bekerja sama dengan Jepang ketimbang melakukan politik non-kooperasi sebagaimana garis perjuangan yang dilakoni kaum komunis pada umumya pada periode itu. Pada 1956, dia keluar dari PKI, tulis Pramoedya Antara Toer [tidak ada keterangan lebih lanjut untuk menjelaskan ini, mungkin saja dia telah sama sekali tidak cocok dengan garis ideologi PKI pada kurun tersebut?].

Padang, 2015

(Padang Ekspres, 3 Januari 2016)

Comments