Puisi-puisi KOMPAS, 13 Mei 2017
Zaman
Meleset
Di tubir
tebing curam ada rumah bordil
di bawahnya
jalan pos dibangun para tahanan
dari penjara
kota yang kini telah dipindahkan
ke depan
bioskop.
Dari atas
truk melaju, para buruh perkebunan
melambaikan
caping pandan dalam sorak tertahan.
Mereka
seringkali bermalam di pondok candu
setelah hari
gajian berpelesir ke pemandian air panas
kadang
merayu gadis-gadis untuk sama-sama berendam
membayangkan
diri pada bilik-bilik sauna
karena tidak
punya tanah di desa, gadis-gadis jadi gundik di kota
lainnya jadi
pekerja harian di rumah-rumah bordil di tepi jalan pos
yang
dibangun dari kata-kata kotor tuan mandor
yang kini
karena sifilis telah dipindahkan ke Eropa.
Seorang
pencoleng desa dulu juga pernah singgah ke sini
memesan
bedil untuk rekan kerjanya di ibukota residensi
dia mengira
benar-benar bedil padahal hanya ketopong
model
jeniseri Turki yang dikirim ke sini berabad-abad lalu
diselundupkan
melalui jalan pintas ke kota garnisun
menyisir
sungai purba bekas jalur karavan emas
ketika
Sultan masih bisa menitahkan sesuatu
tapi kini
kekuasaan hanya bisa bilang ‘anu, anu!’
Di tubir tebing
curam ada rumah bordil
tempat
buruh-buruh mabuk tuak murah.
Membezuk
Kawan
Aku ke rumah sakit sepekan
berikutnya
aku dapati dirimu berenang dalam
tabung oksigen
lehermu terjerat selang-selang
infus
kau menggigit kabel-kabel pengeras
suara
kau menelan ceramah agama setiap
pagi jam lima
kau sering kehabisan udara untuk
bernapas
lorong dalam dirimu menjadi begitu
panjang
seperti lorong-lorong di rumah
sakit itu
katamu kau tak percaya pada impian
yang menggebu-gebu
kita sebaiknya memelihara
omong-kosong untuk bisa berbahagia
aku akan pergi ke tempat di mana
kau tak ada
jadi setelah ini jangan bawakan
lagi aku apa-apa.
Aku ke rumah sakit sepekan
berikutnya ....
Menunggu Oto
Setiap hari
aku lewat di situ, memandang kolam yang lapang
tak
terdengar kecipak ikan, hanya pendar redup bohlam
dari
langit-langit langkan
rumah
beratap merah bata
mungkin ada
poskar tergantung di dinding, jejak air sirih mengering
aku tidak
bisa tidak menoleh pada tiang-tiang dari kayu ruyung
berukir
bunga cengkeh, dan lukisan mooi indie—dokar
di tepi sungai
kereta api
di jembatan tinggi.
Lalu aku
dengar suaramu
melambai-lambai.
Tapi aku sedang
di kereta bara yang melesat kencang
dari
cerobongnya mengepul asap hitam
aku melihat
hutan terkelubak pada cekung matamu
sawah dan
ladang yang dipindahkan ke gerbong-gerbong berat ini
menuju lain
pelabuhan
dan
kapal-kapal kosong muatan.
Setiap hari
aku lewat di situ, melihat kolam yang keruh air
ikan-ikan
putih mati mengapung dan daun keladi kuning lepas ke saluran tandas
membawa sisa
minyak dari dapur, rumah dengan dinding warna timah
tidak bisa
tidak aku menoleh pada ukiran petai cina di pinggir jendela
pedati dari
zaman Padri dan tiang bajak
yang patah
tersandar
di suar
luar.
Serupa
tungkai-tungkai kakimu.
Tapi tak ada
lagi suaramu, melambai-lambai, serupa dulu, lenguh sapi pun
tak
terdengar, dari kandang di belakang, hanya tersisa bayangan
ladang
jagung, terpencil di tepi bukit, lobak busuk dalam karung
dan musim
kering
merontokkan
daun,
kuli-kuli
membuat jalan membelah perbukitan
lalu
segerombolan laki-laki murung
lari dari
rodi, lari
ke kota-kota
jadi pialang.
Aku melihat
kau menunggu oto
di halaman
berpendar bohlam.
Hari cepat
betul jadi kelam.
Deddy Arsya, tinggal di Sumatera Barat. Buku puisi
pertamanya berjudul Odong-Odong Fort de
Kock (2013) terpilih sebagai Buku Sastra-Puisi Terbaik tahun 2013 Pilihan
Majalah TEMPO. Buku puisinya yang kedua, Penyair
Revolusioner, akan terbit awal Juni tahun ini (Grasindo, 2017).
Comments
Post a Comment